Selamat sore saudaraku semua.
Saya menulis posting ini di kala hujan berteman petir sedang beraksi di luar sana. Oleh karenanya, izinkanlah saya berteduh di sini sebentar, dan berbagi mengenai perkara yang sangat lekat dalam kehidupan sehari-hari sambil minum teh panas yang menghangatkan dada. Perkara yang ingin saya bagi adalah mengenai aib kita dan penjagaan sang Khaliq. Semoga saja bisa meneduhkan hati. Ini merupakan sarana untuk saling mengingatkan dan juga menegur diri saya sendiri. Baiklah, saya akan memulai mengutip hadits dari Rasulullah S.A.W,
“Siapa yg melepaskan dari seorang mukmin satu kesusahan yg sangat dari kesusahan dunia niscaya Allah akan melepaskan dari satu kesusahan dari kesusahan di hari kiamat. Siapa yg memudahkan orang yg sedang kesulitan niscaya Allah akan memudahkan di dunia dan nanti di akhirat. Siapa yg menutup aib seorang muslim niscaya Allah akan menutup aib di dunia dan kelak di akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong saudaranya.”
Sejak awal mengenal hadits itu, saya sangat kagum dan terharu bagaimana agama telah mengatur sedemikian rupa mengenai adab berhubungan dengan orang lain. Bagaimana seharusnya kita saling menjaga dan menyayangi orang lain layaknya diri sendiri dan saudara kita. Dan, seperti yang telah saya cetak tebal di atas, termasuk penjagaan kita terhadap aibnya.
Saya menulis posting ini di kala hujan berteman petir sedang beraksi di luar sana. Oleh karenanya, izinkanlah saya berteduh di sini sebentar, dan berbagi mengenai perkara yang sangat lekat dalam kehidupan sehari-hari sambil minum teh panas yang menghangatkan dada. Perkara yang ingin saya bagi adalah mengenai aib kita dan penjagaan sang Khaliq. Semoga saja bisa meneduhkan hati. Ini merupakan sarana untuk saling mengingatkan dan juga menegur diri saya sendiri. Baiklah, saya akan memulai mengutip hadits dari Rasulullah S.A.W,
“Siapa yg melepaskan dari seorang mukmin satu kesusahan yg sangat dari kesusahan dunia niscaya Allah akan melepaskan dari satu kesusahan dari kesusahan di hari kiamat. Siapa yg memudahkan orang yg sedang kesulitan niscaya Allah akan memudahkan di dunia dan nanti di akhirat. Siapa yg menutup aib seorang muslim niscaya Allah akan menutup aib di dunia dan kelak di akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong saudaranya.”
Sejak awal mengenal hadits itu, saya sangat kagum dan terharu bagaimana agama telah mengatur sedemikian rupa mengenai adab berhubungan dengan orang lain. Bagaimana seharusnya kita saling menjaga dan menyayangi orang lain layaknya diri sendiri dan saudara kita. Dan, seperti yang telah saya cetak tebal di atas, termasuk penjagaan kita terhadap aibnya.
Pertama, saya akan mendefinisikan pengertian aib. Aib menurut pengertian harfiah saya merupakan sesuatu yang diasosiakan buruk, tidak terpuji, tidak etis, tidak 'sreg' dan negatif oleh kesepakatan bersama dalam kehidupan sosial. Dalam relasi horizontal antarsesama manusia, aib adalah bagian tersendiri dalam kotak hitam kita, yang tidak akan kita sebarluaskan karena akan menimbulkan stigma negatif yang dilabelkan orang lain pada kita. Sama halnya dengan sifat ketidaksempurnaan manusia, pasti setiap individu mempunyai cerita, pengalaman, kebiasaan, dan karakter yang bisa jadi oleh masyarakat disebut aib. Namun, kebanyakan manusia tidak sadar dan lalai dimana dan apa aib-nya sendiri.
Dalam kehidupan harian sebagai makhluk sosial, seringkali kita kurang 'sreg' dan tidak suka dengan apa yang dilakukan orang lain. Itu wajar dan sering. Seketika kita men-judge, seketika pula kita merekam itu dalam hardisk kita. Tidak jarang pula, kita menemukan fakta empiris dan interaksionis tentang orang lain, yang membuat kita terkejut dan memberikan label tertentu pada mereka. Hampir dipastikan, berkali-kali kita mendengar informasi dari sumber-sumber kedua, ketiga, keempat dan seterusnya yang kadang corrupt dan bias-added tentang orang lain yang membuat kita berasumsi 'macam-macam'. Dan kadang secara spontan kita 'mengata-ngatai' orang lain karena kekecewaan dan luapan emosi yang memuncak.
Bagaimanapun yang saya jabarkan di atas adalah praktik-praktik yang sering terjadi, dan sangat berkebalikan dengan adab dan etika dalam hubungan horizontal antarsesama manusia yang diatur oleh agama. Padahal ingatlah saudaraku semua, bahwasanya aib orang lain adalah cermin dari aib kita, pula. Padahal aib orang lain adalah pembelajaran berharga. Padahal aib orang lain berpotensi menjadi milik kita. Oleh karenanya, agama sudah sangat mulia mengingatkan untuk menyimpan aib orang lain. Dan sebagai balasannya Allah akan menjaga aib kita. Balasan yang sangat luar biasa, karena penjagaan dari sang Khaliq melebihi segala-gala penjagaan di dunia dan akhirat.
Manusia sering lupa bersyukur bahwa begitu banyak penjagaan Allah akan aib-aib kita. Jika kita mengagumi dan mendewakan manusia lain belum tentu pula karena dia 'bersih', tapi karena secara kasat mata kita belum tahu dan bahwa Allah masih menjaga aib-aibnya. Kalaupun orang lain melihat kita sebagaimana baiknya atau sebagaimana kualitas tertentu yang kita miliki, cuma satu yang harus tertanam dalam dada kita, terimakasih kepada Allah yang telah menjaga dan menyembunyikan aib kita. Oleh karenanya, jangan sombong dan jangan mengumbar aib orang lain jikalau mengingankan agar orang lain dan Allah melakukan hal serupa pada kita.
Masyarakat kita adalah masyarakat komunal. Masyarakat yang selalu mengagungkan label makhluk sosial, namun di lain sisi, hipokrit dan 'sakit'. Begitu seringnya tanpa sadar kita menyingkap aib orang lain, memperbesarnya dan mengembar-gemborkannya sehingga meluas dan semakin mantap untuk diperbincangkan. Fakta yang miris itu bisa terlihat dari fenomena di masyarakat: panasnya gosip di infortainment, larisnya forum 'kurang penting' hanya untuk membicarakan aib orang lain, dan kita selalu memulai topik dengan membicarakan orang, bukan event, atau ide. Padahal ada sebuah saying begini, "one with great minds tend to discuss ideas,one with avarage minds tend to discuss events, one with small minds tend to discuss people". What do you think?
Baiklah saudaraku, saya akan merangkumkan dalam beberapa kata. Kita manusia, bukan wali, tidak lepas dari aib dan prasangka. Janganlah sibuk membicarakan aib orang lain sebelum kita introspeksi diri. Janganlah sombong akan persepsi dan prestasi kita di hadapan orang lain, namun bersyukurlah bahwa Allah masih sayang dan menyimpan aib-aib kita. Tidak membicarakan aib orang lain bukan berarti menghindarkan diri kita dari sikap kritis, namun jagalah lidahmu dan mengertilah proporsi dan kondisinya. Berikanlah tanggapan yang proporsional saja. Dan janganlah lupa bahwa : Siapa yg menutup aib seorang muslim niscaya Allah akan menutup aib di dunia dan kelak di akhirat. Subhanallah.
Mari memperbaiki diri.
3 comments:
kiki...inspiring post!:)
makasih banyak mbak wien!
take care&sukses segala aktivitasnya!
miss you:))
quote yg baik, mbak kiki.. mungkin disaat ini aku juga mengalami hal tsb.. dimana aku sendiri mendengar jelas, bahwa sahabatku sendiritelah membuka aibku dimuka umum, yg hingga saat ini aku merasa malu tuk hanya berinteraksi sosial dg masyarakat.. dimana pula dia menuduhku berbuat yg aku pun tak pernah sama sekali melakukan juga tak pernah sekalipun aku membuka aibnya dimuka umum..
namun yg lebih menyakitkan, kenapa hal seperti ini dianggap suatu humor belaka, dia menganggap cuma sekadar guyaon akan tetapi kenapa pula dia sebarkan kesetiap orang dan bukan diungkapkan kepadaku..
sedih memang mbak, aku sendiri bingung harus bagaimana lagi.. Pandangan keluarga, teman bahkan masyarakat kepadaku pun sudah berubah hanya karena FITNAH yg fak jelas tertuju kepadaku..
maaf mbak kiki, kalo diperbolehkan ARTIKEL ini juga akan aku share di blog yg aku punya..
Post a Comment