Sunday, July 25, 2010

Suatu Malam On My Way Back to Jogja

I spent almost a week at home. It’s very recharging to boost my moral fibers and nerves. Until the time I should leave home, it felt very difficult to adjust the reality I had to overcome. Then, I surrendered with the real circumstance when the travel car picked me up. It was almost midnite when I saw the clock. As I guessed the new driver might have confused to find my address or he might departed a bit late from Malang. Whataver the reason, I gave my big hugs to both my parents before saying ‘see you later’. I also felt bad to leave home a day earlier from D-day of my aunt’s ‘marriage vow’ (ijab-qabul). But I had another responsibility to the office and also to my KKN-team. As I grew older and study quite far from my hometown, I valued that qualified time with family cost expensives and worth. So I really take advantages of moments I have with them.

In the car, I sat next to an old foreigner man. He is maybe in the early 60’s. Since I intended to sleep in the car, I didn’t listen to my implisit guts-to have conversation with him. I preffered to have a nice sleep in the car. Until I finally arrived at the restorant to have a supper. I still have my eyes on that old man. That’s might be because I tried to put my shoes on him, since few times I experienced on being a stranger in different country. I just wondered that he may need a translator or guide. I watched on him furtively, and found that he was doing okay and seemed usual with the situation in Indonesia. As most foreigners do, he was a very independent traveller.

Setelah selesai makan, semua penumpang beranjak kembali ke mobil. Malam itu, terdapat sekitar 10 penumpang dalam travel. Dan kebetulan, di deret tempat duduk saya, hanya diisi oleh dua orang, sehingga menyisakan ruang yang lebih longgar untuk merilekskan anggota badan. Akhirnya, saya mempunyai kesempatan untuk mengenal penumpang di sebelah saya. Jika sebelumnya, saya hanya tersenyum seraya berkata ”excuse me, Sir” dan ”thank you”, saat ini saya memulai membuka percakapan dengan bapak bule itu. Basa-basi percakapan dimulai dengan menanyakan negara asal dan apa yang dia lakukan di sini. Kemudian baru saya tahu bahwa dia berasal dari Jerman. Oleh karenanya, aksen bahasa Inggrisnya sangat berbeda, dan agak kurang jelas untuk dipahami.

Selanjutnya, dia mulai menceritakan tujuannya melakukan travel dari satu kota ke kota yang lain. Dari yang saya tangkap, tujuannya adalah berkaitan dengan keimigrasian, semacam memperpanjang visa, atau semacamnya, karena dia tindak memperoleh permit untuk tinggal di Indonesia. Dia sangat gemar bercerita, hingga akhirnya saya ketahui bahwa dia berasal dari Universitas Berlin yang sedang berusaha mengembangkan kerjasama di bidang kimia foto scientifik atau apa lah namanya saya agak lupa, namun berkaitan dengan science. Sebelum percakapan dimulai, bapak ini terlihat sangat ramah dengan senyum manis yang selalu tersungging di bibirnya. Entah senyum tulus atau senyum sinis, yang jelas senyum itu mengingatkanku pada sosok bapak angkat di Amerika.

Setelah sekitar lima menit saling memperkenalkan diri. Dia semakin banyak bicara, semakin terkesan curhat dan meluapkan emosinya yang terpendam selama ini. Inti dari ceritanya dalah dia sudah selama kurang lebih lima belas tahun membangun kerjasama dengan beberapa institusi di Indonesia. Dia sudah dijanjikan agar bisa mengembangkan proyeknya di Indonesia, kemudian dia mengundurkan diri dari Universitas di Berlin. Tetapi dia sungguh sangat kecewa ketika kembali ke Indonesia, seakan-akan tidak pernah ada kontak sebelumnya, diacuhkan, dan janji yang sebelumnya ditawarkan tidak pernah sedikit pun disinggung. Sebaliknya selama di Indonesia, dia menyebut bahwa proposal-proposal proyeknya telah ’dicuri’ dan statusnya di Indonesia selalu dipersulit oleh keimigrasian dan institusi-intitusi lain. Dia berkali-kali menyebut LIPI. Jadi dugaan saya institusi yang dia maksud adalah LIPI.

Mendengar cerita tersebut saya berusaha menanggapi secara proporsional. Sebelumnya saya juga tidak seratus persen percaya dengan omongan bapak itu. Kemudian, saya menanyakan legalitas kerjasama dengan institusi tersebut, apakah ada hitam di atas putih. Karena berdasarkan pengalaman di kantor, segala macam bentuk kerjasama secara rigid harus dilindungi dan dibahas dalam sebuah perjanjian legal formal. Mungkin saja, itu titik kelemahan dia selama ini, karena ada aspek legalitas yang missing. Dari penjelasannya, dia memang lalai, tapi untuk mengatakan bahwa bapak itu berbohong rasanya sangat tidak mungkin. Secara lancar dia sangat detail menjelaskan mengenai pengalamanya. Dia juga terlihat seperti akademisi yang sangat cerdas, kritis, dan argumentatif.

Omongan pun terus berlanjut, dan kuping saya semakin panas mendengar kata-kata yang keluar dari bapakitu. Berulang-ulang dengan sangat santai dan ringan keluar mulutnya, kata-kata yang mencela Indonesia dengan mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang uncivilized. Selanjutnya kata-kata yang keluar dari mulutnya selalu mengandung kata-kata stupidity, corrupt, greedy, underdeveloped, dan semacamnya. Betul-betul penghinaan sehingga membuat saya sebagai orang Indonesia tersakiti. Saya pun dengan sekuat hati mencoba mengatakan bahwa tidak bisa meng-over-generalisasikan Indonesia secara keseluruhan seperti itu. Masih banyak orang-orang yang menginginkan perubahan dan mempunyai optimisme terhadap pembangunan dan perbaikan bangsa Indonesia. Kami masih berjuang dengan, walaupun lambat, namun sedikit demi sedikit kita berusaha menjadi lebih baik.

Dia skeptis meresponnya bahkan mengatakan bahwa pernah membaca artikel tentang Indonesia pada tahun 70-an mengenai pelayanan administrasi publik dan sampai sekarang pun, praktiknya tetap sama. Indonesia tidak berubah seperti halnya praktik yang terjadi pada tahun 1970-an. Kemudian dia juga membandingkan dengan Vietnam dan China.

Sebagai generasi muda, warga negara Indonesia, jelas nasionalisme saya terusik mendengar orang asing yang menjelek-jelekkan Indonesia dan mengatai-ngatai tanpa etika di depan mata kepala saya. Namun, ketika dia membicarakan pengalamnanya sendiri dan mendeskripsikan kondisi real di Indonesia yang saya juga (dalam hati kecil ) mengakui itu, bahkan juga mengalaminya, ada dilema dan dualisme pemikiran yang membuat saya terdiam. Saya terdiam untuk berfikir, saya terdiam mengakui, dan saya terdiam miris, bahwa itu memang terjadi di Indonesia-ku ini.

Ketika saya terdiam, bapak itu juga terdiam. Kami pun berusaha membahas topik ringan untuk mendinginkan suasana. Saya menanyakan apakah dia termasuk penggemar sepakbola, dia pun menanggapinya dengan antusias. Kemudian saya memberikan selamat atas kemenangan timnas Jerman atas Inggris. Lelah dengan perbincangan dengan intensitas klimaks, intonasi meninggi, dan penuh dengan luapan emosi, saya pun mengalihkan pembicaraan mengenai Jerman dan Eropa. Kami pun asyik dengan pembicaraan mengenai kritik tentang reunifikasi Jerman, politisasi Merkel, krisis finansial Yunani, mata uang Euro, dan sebagainya.

Ketika pembicaraan singgah mengenai imigran di Jerman, dia pun kembali dengan tensi yang meninggi mengkritik habis-habisan imigrasi Indonesia, tentang bagaimana birokrasi yang tidak sistemis dan efisien, dan juga tipikal Indonesia yang suka mempersulit izin, dalam imigrasi dan juga investasi. Pun, ketika kami singgah di pom bensin, dia sangat kritis membicarakan mengenai naiknnya gas dan kebutuhan pokok. Di lain sisi, dia pun berjiwa besar mengakui bahwa di Jerman dan Eropa hal semacam itu juga terjadi, namun dia sungguh sangat kecewa dengan Indonesia yang dalam segala lini selalu saja ada oknum yang greedy, stupid, dan corrupt. Dia juga dengan sangat jelas menghujat birokrat-birokrat Indonesia sangat materialistis.

Ohh, bapak, saya sungguh menyesal mendengar pengalaman bapak selama di Indonesia sangat getir. Diantara kata-kata kasarnya, yang saya salut dia masih ramah menanggapi pertanyaan-pertanyaan saya, dan objektif terhadap setiap kilah peristiwa, termasuk sangat anti-Amrika ketika kebijakannya menambah pasukan ke Afghanistan mengatasnamakan kepentingan kebaikan sesama,

Ooh, poor Indonesia. Poor negaraku. Maaf saya sudah kehabisan kata-kata untuk membelamu. Saya dengan berat hati mengakui bahwa itulah Indonesia saat ini. Praktik seperti itu masih sering terjadi. Saya hanya berharap pengalama ini menamparku, supaya mulai memikirkan nasib Indonesia ke depan. Dan berjuang menjadi pribadi yang tidak semakin mengukuhkan praktik-praktik buruk dalam sistemik kenegaraan yang sudah melembaga, dan menjadi kebiasaan. Saya juga pusing memikirkan, begitu kompleksnya permasalahan, sehingga pertanyaannya kemudian adalah dimulai dari manakah perubahan itu sebaiknya?

Walaupun kuping saya panas, walaupun nasionalisme saya dicabik-cabik, namun saya merasa beruntung dipertemukan dengan orang ini, yang mempertajam sensitivitas saya mengenai kenyataan yang terjadi di Indonesia. Dan praktik-praktik yang sangat familiar dalam kehidupan sehari-hari. Semoga saja, bapak ini hanya sedikit dari orang asing yang merasakan pengalama buruk tersebut. Dan yang lebih penting, semoga orang asing ini yang terakhir saya temuai dengan keluhan seperti itu. Citra Indonesia di mata internasional betul-betul harus diperhatikan.

Sebagai korban kekerasan verbal ’cacian dan makian’ tentang Indonesia, saya sadar bawa Indonesia seharusnya memperbaiki diri, but regardless accumulated bad experience you had in Indonesia, is thery anything you really appreciate of being in Indonesia? Frankly I really wanted to ask that question. Sayang sekali pertanyaan itu belum sempat saya lemparkan, ketika ternyata bapak sopir telah sampai di depan Swakarya 7A.

Friday, July 2, 2010

Urgent Hope

God, I really need You!
But, why I keep You far from me?!

Please God, I am begging for Your hidayah!
I urgently need intensive intimacy with You.
I eagerly hunger of spiritual blissfulness because of You.

I want to be better and don't want to be a loser!
Please listen and answer my urgent hope!