Seperti pada tulisan-tulisan sebelumnya, pulang selalu mengilhami. Untuk itulah, sebisa mungkin saya selalu pulang ketika kondisi mengizinkan. Selagi belum sekolah jauh atau terikat kontrak kerja yang memberatkan. Itu yang dipesankan orang tua. Kesempatan pulang selalu saya manfaatkan untuk bermanja dengan waktu luang dan kasih sayang. Dua hal berharga yang mahal dibeli di zaman sekarang ini. Rumah dan orang tua adalah dua kerinduan yang membumikan langkah saya, yang jarang merunduk ramah pada asal, tanah, dan sejarah. Padahal, dimana pun kita membumbung tinggi, jiwa kita harus santun memijak pada bumi ketulusan yang mengikat kita secara biologi dan nurani.
Seusai acara di Surabaya minggu lalu, saya menyempatkan pulang. Sudah beberapa bulan saya tidak pulang karena harus menyelesaikan kewajiban. Oleh karenanya, Minggu lalu saya pulang dengan membawa segudang cerita dan senyuman. Saya senang bisa pulang dan mengganggu bulan madu orang tua saya. Maklum mereka berdua saja di rumah, menikmati hari dari ujung ke ujung waktu lain. Berdua saja, tanpa anak yang meramaikan rutinitas harian mereka. Itulah yang membuat saya sedih ketika harus pamit kembali ke Jogja. Mereka pasti akan 'merajuk', rumah kembali sepi. Namun itulah konsekuensi ketika mempunyai dua ananda yang menuntut ilmu di tempat jauh . Di sisi lain saya bangga dan berterima kasih kepada mereka yang percaya dan bijaksana, mengizinkan anaknya kemana pun hendak belajar dan mengejar impian.
Di suatu senja sore, minggu lalu. Saya dan bapak duduk bersama di ruang makan. Kami berbincang ringan tentang berbagai hal. Waktu itu saya menceritakan tentang Mbak Minah, gadis belia ceria nan cekatan yang selama ini membantu ibu kos mengurus pekerjaan rumah tangga. Minggu lalu dia pulang ke kampungnya di Wonosobo, mengemas seluruh pakaiannya, dan tak ujung kembali ke kos sampai saat ini. Entah, sampai saat ini kami hanya bisa menduga-duga alasan kepergiannya.
Di akhir cerita, tiba-tiba Bapak berkomentar, "Nduk, nanti mama bapak perlu pembantu ga?". Saya kaget mendengar reaksi Bapak. Belum sempat saya tanyakan lebih lanjut, Bapak berujar, "Ya, kalau sekarang Bapak dan Mama masih sehat dan kuat, masih mampu mengurus dan membersihkan rumah. Tapi suatu saat nanti, pasti kami tidak sanggup mengerjakan semua sendiri, menyapu rumah, menyuci baju, menyetrika, dan lain-lainnya. Sehingga butuh bantuan orang lain" Saya berkaca-kaca dan terharu mendengarnya. Selama ini keluarga kecil kami memang terbiasa mandiri. Segala pekerjaan rumah tangga diselesaikan bersama-sama, dengan kesadaran diri dan rasa saling memiliki. Dan saya sepakat, pasti suatu saat nanti ketika usia beranjak naik, semua pasti akan berbeda.
Percakapan sore itu menyentil saya untuk meninjau kembali rancangan masa depan. Sudahkah kita menempatkan (atau paling tidak, memikirkan) orang tua dalam rancangan masa depan kita. Sudah cukup egois kah kita dalam bermimpi? Di manakah orang tua kita di mimpi yang kita bangun? Pernahkah kamu menanyakan mimpi orang tua di masa depan? Padahal, saya yakin, pasti di mimpi mereka selalu ada dirimu di sana. Anak-anak mereka sebagai tokoh utama.
Orang tua yang hebat dan bijak tidak pernah memaksakan cita-cita kepada anaknya. Mereka akan selalu mendukung apapun pilihan dan mimpi kita, dan juga menerima kita apa adanya, pun dalam titik nadhir kehidupan. Tidak ada yang mereka minta, selain selalu memberi, tulus doa terbaik untuk anaknya. Oleh karenanya jangan pernah kecewakan mereka. Bakti dan santun cinta kita untuk mereka merupakan bukti nyata kasih sayang yang tiada tara.
Salam memperbaiki diri,
Kiki Fauzia
No comments:
Post a Comment