Thursday, December 8, 2011
sering kita lupa
Tuesday, December 6, 2011
Elegi Kekecewaan
Kiki Fauzia
Gambar dari sini
Saturday, July 23, 2011
Reflection: Assertiveness on Decision
I think, I should close my ears, eyes, and mouth as soon as possible, then start thinking logically, because I am still questioning : Where is their quality of assertiveness? I believe when BIG DECISION made,we will sacrifice some other aspects (can be stuff or person) that we already struggled for or hold on for a long time. I know it's very hard, but that's a big deal. We named it CHOICE and CONSEQUENCES. Some people might need more time to wait, calculate, predict, and finally logically act. But at the end, it will proof whether it is worthy decision or only playful one.
Sometimes, the ambiguity and dilemma comes within BIG DECISION. But that what life teaches us. It's all about choices, and responsibility to take a consequences when risk happens. But, the practice on the real life is not as easy as it was written. In life, most times we act in our comfort zone or safety box. We want no one hurts and no one complain. But, how long it will last? So, all we can do is (again) wait and wait for the momentum is coming. I don't know. All I know is : it's not easy.
Best regards,
Kiki Fauzia
Wednesday, June 8, 2011
Devils--Overrated
Talking about devils. I was very concerned about my chaotic heart. Yeah, there are things that might be very difficult to accept, things that we can't understand, things that doesn't fit with our understanding, things that hard to believe, things that shock, sadden, and disappoint us, but believe me that you should forgive yourself and others, if the condition happens. Why? because as long as we didn't do bad for others, and stay in the right line, nothing can really matters. All the condition doesn't remain eternal, only permanent. It could be very conditional and very personal. So, try to do your best to maintain your chaotic-heart.
Regarding my previous entry about appreciate listening, today I also examined the skill, and it is not easy. Most times listening patiently required the similar interest and the understanding that other people needs to be respected. If you don't have those two, you may still be able to pretend like you do, but it will be difficult, and you will surely lose the essence of existence. The situation today also taught me that you can't merely value person from their resume or CV, you gotta meet him/her, have an eye-contact, exchange words, and let the person show off what he/she's always being proud off.
Today, I am thankful that I am still healthy. God, I need You to be nearer. I hope I will reach You back as soon as possible.
Sunday, June 5, 2011
Mendengar Alam
We went to Sundak and Drini Beach.
It was the perfect spot when I could listen to the nature.
Listen to the sounds of the waves.
Listen to the blows of the winds.
Listen to the rhyme of the sea.
Listen to what God has spoken to me beautifully.
It was there. Very obvious.
Thanks God! You are the Beauty!
Saturday, June 4, 2011
Hati Matahari
Awalnya, kami kehabisan tiket karena membeli tiket beberapa jam sebelum konser dimulai. Semua tiket terjual habis, dari tiket festival, VIP, bahkan VVIP. Kemudian berbekal kenalan di 'Progress Manajemen', saya menghubungi beliau dan menceritakan kondisi di lapangan. Alhamdulillah kami mendapatkan kursi tambahan. Terima kasih Mas Helmi atas bantuannya. Terima kasih luar biasa kepada teman saya yang rela antri, sabar menanti, dan menemani sampai akhir konser. Walaupun sempat kecewa karena Cak Nun dan Noe Letto tidak tampil, tapi overall konser sangat spektakuler, menyenangkan, hangat, dan menghibur.
31 Maret 2011, Taman Budaya Yogyakarta
Novia Kolopaking kembali menyapa masyarakat Jogja dan sekitarnya dengan senandung sapa yang telah lama dirindukan. Silaturahmi, dia menyebut konser dengan tajuk 'Hati Matahari' malam itu sebagai suatu persembahan untuk keluarganya, terutama masyarakat Jogja. Jogja adalah tempat yang dipilihnya untuk tumbuh, belajar, berkarya, dan mengabdi untuk 'sesuatu' yang sifatnya lebih transendental. Sejak tahun 1997, Novia meninggalkan Jakarta dengan segala atributnya. Sejak saat itu, dia mengaku tidak pernah berhenti berkarya, bahkan mengenal komunitas baru yang membawanya ke dalam dimensi baru, tetapi tetap bernyanyi, berkarya seni, dan menyelami pengalaman yang lain lagi. Bersama Kiai Kanjeng, diplomasi kebudayaan melalui konser musik ke berbagai benua berhasil dilakukan. Letto, baginya adalah anak yang lahir dan tumbuh dalam keluarganya, serta sejiwa dalam berkarya. Matarantai, dia mengumpamakan adalah anak bungsunya, yang baru saja lahir dan akan terus tumbuh dan berkembang.
Konser malam itu adalah kolaborasi apik, antara vokal Novia Kolopaking, aransemen musik Letto dan orkesta Mata rantai, serta musik gamelan Kiai Kanjeng. Dinamika nada dan irama yang menciptakan harmonisasi dan ritme yang syahdu dan memukau. Lagu-lagu yang dipilih malam itu adalah kombinasi antara lagu nostalgia, masa kini, rohani, dan karya-karya seniman handal Jogja dan seniman asing. Penontan dibawa bersenandung bersama dalam lagu-lagu lama seperti Bunga Mawar, Asmara, dan yang tak kalah populer soundtrack 'Keluarga Cemara' karya Arswendo, yang di-aransemen gabungan dengan lagu 'Tho'la'al Badru'. Ada juga satu lagu kesukaan saya, Sandaran Hati, dan beberapa lagu lainnya. Meskipun mengaku sempat kehabisan nafas dan tidak hafal lirik lagu, Novia tetap menampilkan performa terbaiknya. Saya salut ketika dengan rendah hati dia meminta maaf atas segala keterbatasan tersebut dan mengharapkan pengertian penonton. Termasuk, ketika konser akan dimulai Novia yang masuk melalui koridor kursi penonton, menyalami satu persatu penonton di sekelilingnya. Sesampainya di panggung, dia pun meminta izin mencopot high-heels-nya dan memilih tidak memakai alas kaki karena lebih nyaman dan membuatnya lega. Haha.
Novia tergolong sangat komunikatif dengan penonton. Sesekali memberikan pendapatnya mengenai suatu isu tanpa ada kesan menggurui namun sangat bijak dan cerdas. Mungkin karena telah terbiasa dengan berbagai dialog dan diskusi yang dipandu Cak Nun dengan berbagai kalangan, sehingga dia lebih objektif dan kritis dalam berpendapat. Novia nampaknya juga telah belajar bagaimana caranya memberikan sentuhan humor dalam setiap kata-katanya. Yang menarik, termasuk pengakuannya ketika menjadi ibu rumah tangga adalah jauh lebih 'mudah' dan menyenangkan daripada menyanyi. Dia juga menyayangkan berbagai media yang seringkali memfitnah suaminya yang dianggap menyuruhnya berhenti berkarir dan bernyanyi. Padahal, justru suaminya lah yang paling mendukung agar Novia bernyanyi terus, termasuk menggelar konser malam itu.
Saya yang malam itu hadir di antara ratusan penonton yang memadati Gedung Konser Taman Budaya merasakan atmosfer kekeluargaan yang kental; hangat dan menyenangkan. Ada semangat pengabdian besar yang selalu diingatkan dalam setiap lagu untuk tetap setia pada Ilahi, dan menapaki kehidupan sesuai dengan jalan-Nya. Seusai konser saya merasa mendapat penyegaran dan energi baru. Bahwa salah satunya, keluarga adalah harta yang paling berharga, puisi yang paling bermakna, istana yang paling indah, serta mutiara tiada tara (menyadur dari Keluarga Cemara). Keluarga kandung dalah anugerah terindah yang Allah titipkan dalam kehidupan kita. Dan dalam lingkup yang lebih luas, semangat kekeluargaan inilah yang harus selalu kita pupuk, agar kita merasakan yang namanya solidaritas, simpati-empati, dan penerimaan. Tentunya, dalam kadar yang proporsional.
Hal lain yang saya pelajari, di antaranya hidayah adalah keberuntungan terbesar yang Allah berikan kepada hambanya. Tiada yang mampu memprediksi, bagaimana kita mengawali akan sejalan dengan apa yang akan kita kerjakan nantinya. Bahagia dengan pilihan yang kita ambil serta menjalaninya dengan tanggung jawab dan kebahagiaan adalah suatu kenikmatan hidup. Berdoalah supaya kita selalu dipertemukan dengan orang atau kelompok yang bisa membuka kepekaan hati dan pikiran kita untuk menjadi insan lebih baik, tanpa harus menjadi orang lain. Hahaha. Yang jelas, saya datang tidak sia-sia. Pulang dengan tidak hanya terhibur tetapi perasaan yang lebih kaya.
Saya menunggu konser Kiai Kanjeng dan Letto, yang dijanjikan akan segera datang. Let's stay tune!
Yang juga menyayangi Jogja dan keluarga,
Kiki Fauzia
Saturday, May 14, 2011
Menangis dan Belajar Ikhlas
Tadi malam saya sempat sangat sedih. Semua terjadi begitu cepat dan sekejab. Saya yang sama sekali tidak mengharap apa-apa, tiba-tiba diberi kesempatan untuk berharap terlalu tinggi. Tinggi sekali. Saya sempat sangat yakin sekali, walau ada grogi. Saya 'mungkin' juga terlampau percaya diri, dan mendahului kehendak-Nya. Saya merasa terbang tinggi ke awan dan melayang-layang. Karena salah satu impian saya, what i wanted really really badly, is in front of my eyes. Di lain sisi, ada hal yang harus saya korbankan. Dan ada kernyit bahagia di hati bahwa ada justifikasi untuk menunda suatu keharusan yang harus segera diselesaikan itu. Hahaha.. Yang, jelas semua terjadi begitu cepat.
Tiba di hari H. Ada kesalahan kecil fatal yang saya perbuat. Soal penulisan dan kejujuran. Di situ saya belajar, bahwa "Honesty is the best policy, and being thorough is a must". Di sesi interview, saya dihadapkan pada tiga orang pewawancara. Nampaknya saya harus lebih berusaha meyakinkan diri jika dihadapkan pada sesi wawancara semacam ini. Beberapa pengalaman terdahulu merupakan pelajaran berharga agar saya lebih mengeal diri sendiri. Kemarin berbeda, dua di antara pewawancaranya saya kenal baik. Tapi saya justru merasa tidak nyaman dengan itu. Haha. Entah mengapa, saya sendiri tidak memahami. Mungkin karena ketika kita sudah kenal, ada beberapa objektifitas yang tereduksi. Entah menguntungkan atau merugikan, yang jelas saya merasa tidak nyaman. Hehe..
Dalam masa penantian, dan sebelum keputusan diketuk palu, feeling saya sangat hambar. Artinya, saya tidak berharap banyak. Dan pun ketika kenyataan terasa pahit, saya masih merasa hambar. Saya sudah legowo sejak sebelumnya bahkan. Tapi ketika diberikan penjelasan mengenai kronologis dan alasan, saya justru sedikit mengernyitkan dahi, "is it fair?". Well, then I guess, banyak pertimbangan, dan mereka mempunyai otoritas untuk memilih dan mempertimbangkan. Justru yang pahit adalah di balik penjelasan itu. Kalauupun benar, seharusnya saya tidak usah tahu saja. Siapa tahu itu hanya 'penjelasan manis' untuk menenangkan dan menghilangkan 'rasa kecewa' dan 'malu' saya. Hanya Allah yang Maha Tahu bagaimana keputusan di buat. Dalam hati saya berdialektika dengan topik "mengapa Anda layak untuk benar-benar diperjuangkan" Dan kesimpulan saya, ketika Anda memang tidak layak, pertimbangan lain-lain itu hanyalah faktor sekunder.
Akhirnya pelukan sang Ibu itu begitu menenangkan. Saya pun berusaha ikhlas, walaupun masih ada sedih dalam hati. Saya ingin segera pulang dan menceritakan semua kepada keluarga saya. Seperti biasa mereka menangkan. Saya ke kamar dan kemudian lahirlah entry blog saya sebelum ini. Entah, saya merasa harusnya saya bisa menangis di dalam kamar. Tetapi tetap saja belum bisa. Saya pun memaksa diri untuk menangis. Haha. Dan saya bangga air mata itu bisa keluar. Mengapa harus berusaha dan bangga? Karena saya tergolong anak yang jarang menangis. Entah, mungkin bisa disebabkan oleh beberapa hal: mungkin kurang sensitif, kurang sentimentil, hati kelu, atau positifnya, saya memang kuat, tidak cengeng, dan memang tidak perlu. Yang jelas, saya pernah berdoa supaya Allah memberikah hati yang lebih sensitif dan 'sensible'. Tapi dalam beberapa kejadian, tangisan saya selalu terlambat, memang. Dan akhirnya, saya senang bisa menangis malam itu. Lega.
Sayapun memejamkan mata. Hari pun berganti. Pagi ini saya bertemu teman-teman seangkatan untuk berfoto bersama. OMG, it's been four years. Can I record what I have done during the past years? Kemudian saya berfikir dan mulai menyadari, kuncinya adalah tahu tujuan hidup dan ikhlas. Dua hal itu lah yang penting. Karena ketika kita tahu apa tujuan akhir hidup kita, dan ikhlas dalam menjalaninya, pasti tak ada sedikit pun yang bakal kita sesali. Tak ada pekerjaan dan perbuatan kita yang sia-sia, kecuali kita sendiri yang membuatnya sia-sia. Kesedihan dan perasaan apa pun sifatnya hanya sementara. Saya pun menguat kembali, mengikhlaskan semuanya lagi. Dan mengingat kembali tentang apa tujuan akhir hidup saya. And at the end, I realize that I should have faith in God. Because He is indeed the Best Life Director!
Saya beriman, oleh karenanya saya kuat! Belajar ilmu ikhlas memang tidak mudah.
Salam ikhlas, dan tetap semangat!
Kiki Fauzia
Monday, April 25, 2011
About Love
What I posted on the previous entry titled "Abstract Entry" abstractly described my feeling at that time. I just implicitly said that I suffered yet enjoyed at the same time the joy to be drugged on abstract feeling, called "love". Since I felt abstract and consciously thought that it will last only temporary, so I deprived the feeling. So, I lied to myself about what's going on. But then I listened to the song whose lyric told me that "Love will never lie". So I nodded, and understood I can lie others but I can't lie myself. But the substantial question is not about falling in love or love itself, but how far it will go? Or in popular verses, (Mau dibawa ke mana....). Haha.. That question will take me further to other variants which involved consequence, responsibility, and principle.
Love is indeed beautiful feeling when we can be so ecstatic, energetic, and euphoric about something or someone. Then, I found such a nice poem from Rumi on Love. "Wherever you are, whatever you do, be in love". Yeah, Rumi is such a great Lover, in different degree of love. He really captivated me with the noble yet majestic love that can't be argued. Yeah, I am now falling in love with the poetry about Love by Rumi.
It's only intermezzo in the middle of reading journals for my thesis. Yeah, yesterday my Mom reminded me about the essence of priority, and showed me a gateway to move forward to another life journey, which should be started by finishing my thesis. Thanks Mom. Anyway today is her birthday. I sent her message last night and she answered back with such a great prayer to her children. Thank you for your endless love, support and prayers, Mom! I guess it is also another sample of genuine love that will never lie.
Please enjoy Rumi's poems :
This World Which Is Made of Our Love for Emptiness
Praise to the emptiness that blanks out existence. Existence:
This place made from our love for that emptiness!
Yet somehow comes emptiness,
this existence goes.
Praise to that happening, over and over!
For years I pulled my own existence out of emptiness.
Then one swoop, one swing of the arm,
that work is over.
Free of who I was, free of presence, free of dangerous fear, hope,
free of mountainous wanting.
The here-and-now mountain is a tiny piece of a piece of straw
blown off into emptiness.
These words I'm saying so much begin to lose meaning:
Existence, emptiness, mountain, straw:
Words and what they try to say swept
out the window, down the slant of the roof.
Love is Reckless
Love is reckless; not reason.
Reason seeks a profit.
Love comes on strong,
consuming herself, unabashed.
Yet, in the midst of suffering,
Love proceeds like a millstone,
hard surfaced and straightforward.
Having died of self-interest,
she risks everything and asks for nothing.
Love gambles away every gift God bestows.
Without cause God gave us Being;
without cause, give it back again.
Thanks Rumi, your poem is such a medicine for my reckless love. Thank you, I feel enlightened :)
Monday, April 11, 2011
Orang Tua Ketika Senja
Seperti pada tulisan-tulisan sebelumnya, pulang selalu mengilhami. Untuk itulah, sebisa mungkin saya selalu pulang ketika kondisi mengizinkan. Selagi belum sekolah jauh atau terikat kontrak kerja yang memberatkan. Itu yang dipesankan orang tua. Kesempatan pulang selalu saya manfaatkan untuk bermanja dengan waktu luang dan kasih sayang. Dua hal berharga yang mahal dibeli di zaman sekarang ini. Rumah dan orang tua adalah dua kerinduan yang membumikan langkah saya, yang jarang merunduk ramah pada asal, tanah, dan sejarah. Padahal, dimana pun kita membumbung tinggi, jiwa kita harus santun memijak pada bumi ketulusan yang mengikat kita secara biologi dan nurani.
Seusai acara di Surabaya minggu lalu, saya menyempatkan pulang. Sudah beberapa bulan saya tidak pulang karena harus menyelesaikan kewajiban. Oleh karenanya, Minggu lalu saya pulang dengan membawa segudang cerita dan senyuman. Saya senang bisa pulang dan mengganggu bulan madu orang tua saya. Maklum mereka berdua saja di rumah, menikmati hari dari ujung ke ujung waktu lain. Berdua saja, tanpa anak yang meramaikan rutinitas harian mereka. Itulah yang membuat saya sedih ketika harus pamit kembali ke Jogja. Mereka pasti akan 'merajuk', rumah kembali sepi. Namun itulah konsekuensi ketika mempunyai dua ananda yang menuntut ilmu di tempat jauh . Di sisi lain saya bangga dan berterima kasih kepada mereka yang percaya dan bijaksana, mengizinkan anaknya kemana pun hendak belajar dan mengejar impian.
Di suatu senja sore, minggu lalu. Saya dan bapak duduk bersama di ruang makan. Kami berbincang ringan tentang berbagai hal. Waktu itu saya menceritakan tentang Mbak Minah, gadis belia ceria nan cekatan yang selama ini membantu ibu kos mengurus pekerjaan rumah tangga. Minggu lalu dia pulang ke kampungnya di Wonosobo, mengemas seluruh pakaiannya, dan tak ujung kembali ke kos sampai saat ini. Entah, sampai saat ini kami hanya bisa menduga-duga alasan kepergiannya.
Di akhir cerita, tiba-tiba Bapak berkomentar, "Nduk, nanti mama bapak perlu pembantu ga?". Saya kaget mendengar reaksi Bapak. Belum sempat saya tanyakan lebih lanjut, Bapak berujar, "Ya, kalau sekarang Bapak dan Mama masih sehat dan kuat, masih mampu mengurus dan membersihkan rumah. Tapi suatu saat nanti, pasti kami tidak sanggup mengerjakan semua sendiri, menyapu rumah, menyuci baju, menyetrika, dan lain-lainnya. Sehingga butuh bantuan orang lain" Saya berkaca-kaca dan terharu mendengarnya. Selama ini keluarga kecil kami memang terbiasa mandiri. Segala pekerjaan rumah tangga diselesaikan bersama-sama, dengan kesadaran diri dan rasa saling memiliki. Dan saya sepakat, pasti suatu saat nanti ketika usia beranjak naik, semua pasti akan berbeda.
Percakapan sore itu menyentil saya untuk meninjau kembali rancangan masa depan. Sudahkah kita menempatkan (atau paling tidak, memikirkan) orang tua dalam rancangan masa depan kita. Sudah cukup egois kah kita dalam bermimpi? Di manakah orang tua kita di mimpi yang kita bangun? Pernahkah kamu menanyakan mimpi orang tua di masa depan? Padahal, saya yakin, pasti di mimpi mereka selalu ada dirimu di sana. Anak-anak mereka sebagai tokoh utama.
Orang tua yang hebat dan bijak tidak pernah memaksakan cita-cita kepada anaknya. Mereka akan selalu mendukung apapun pilihan dan mimpi kita, dan juga menerima kita apa adanya, pun dalam titik nadhir kehidupan. Tidak ada yang mereka minta, selain selalu memberi, tulus doa terbaik untuk anaknya. Oleh karenanya jangan pernah kecewakan mereka. Bakti dan santun cinta kita untuk mereka merupakan bukti nyata kasih sayang yang tiada tara.
Salam memperbaiki diri,
Kiki Fauzia
Tuesday, January 25, 2011
Refreshing > Tugas Utama
"Yang fokus ya? Refreshingmu sudah banyak, baik yang sudah maupun yang belum. Jadi harus lebih diutamakan tugas pokoknya" -Mama-
"Ingat tujuan utamamu ke Jogja adalah untuk kuliah..." -Bapak-
Yang ingin saya sampaikan di sini adalah bahwa memang perlu niat yang kuat untuk bisa fokus. Saya perlu ketegasan. Saya perlu tegas terhadap diri sendiri, dan lingkungan eksternal saya. Ketegasan itulah yang mampu mendewasakan diri kita terhadap berbagai pilihan dalam hidup.
Saya memang lihai bergumam. Tidak cukup. Karena saya harus segera berproses untuk menentukan baik tidaknya hasil nanti. Baiklah orangtua, terimakasih atas teguran-teguran kecil yang sangat bermakna. Saya harus NIAT, FOKUS, dan mengingat TUJUAN UTAMA saya.
Salam.
Kiki Fauzia
Sunday, January 16, 2011
Flashback dengan Sepotong Kayu
Maaf atas terabaikannya blog ini selama beberapa saat karena memang belum ada kesempatan untuk menuliskan ritme kehidupan saya akhir-akhir ini. Selamat berganti kalender tahun 2011. Selamat menyusun agenda dan resolusi di awal tahun untuk menyongsong hari, minggu, dan bulan ke depannya. Saya harus memperbanyak sabar dan syukur karena masih diberi kekuatan dan kesehatan untuk menjalankan hari-hari baru yang penuh misteri. Tahun 2010 telah berlalu dengan begitu cepat. Dan saya baru sadar kalau blog ini merupakan salah satu memoar yang merekamkan bagaimana waktu itu berlalu. Saya pun merasa tumbuh bersama blog ini. Diantara semua peristiwa dan pergolakan yang saya alami, saya berusaha mencurahkannya di sini. Bukan karena ingin dibaca atau dipahami, tetapi lebih agar bisa diilhami sebagai suatu pembelajaran, baik bagi diri sendiri maupun bagi pembaca yang merasa dirinya tidak sendiri.
Menjelang larut malam ini sebenarnya mata saya sudah lelah dan pedas. Saya tidak tahu apakah karena kurang tidur atau malah kebanyakan tidur. Yang jelas tadi malam saya begadang sampai hampir subuh. Tetapi tidur siang saya hari ini tidak kurang dari berjam-jam, dan saya rasa sudah cukup. Ada rasa gamang karena beberapa 'pending matters' yang belum rampung. Saya merasa bebal dalam kondisi seperti ini. Ini bukan pertama kali, dan terjatuh di lubang yang sama adalah isyarat kebabalan yang kronis. Saya tahu tetapi saya tidak mau tahu. Bebal memang.
Lagu 'Sepotong Kayu' ini mengalun terus. Ada rasa ngeri akan bayangan siksa di alam lain karena akumulasi perbuatan-perbuatan yang telah kita lakukan. Bayangkan betapa mudahnya kita menyakiti diri sendiri, bahkan tanpa sadar menyakiti orang lain. Bukan hanya perkataan dan perbuatan. Bahkan sorot mata kita pun bisa menjadi amalan dan dosa yang diperhitungkan. Mungkin banyak yang menjustifikasi akan aspek relijiusitas yang mulai bias jika dikaitkan dengan relevansi kekinian. Apalagi ketika semuanya serba pragmatis dan sekuler. Tidak ada yang salah memang dengan itu semua. Dan keyakinan akan sesuatu memang suatu pilihan. Pilihan yang harus dihargai, apalagi jika telah melalui proses perenungan yang dalam.
Tiba-tiba saya teringat perkataan salah satu teman yang dengan yakin berpendapat bahwa segala praktik keagamaan itu tidak ada artinya jika dalam kehidupan duniawi, kita terlalu egois, dan kurang berbagi dengan sesama. Suatu sentilan kecil yang dahsyat. Saya sepakat. Namun, bukan berarti praktik keagamaan itu tidak ada artinya. Saya pribadi berfikir bahwa kita harus bertanggung jawab dengan apa yang kita pilih, termasuk agama pilihan kita. Karena semua yang kita pilih dan jalani memang harus dipertanggungjawabkan nantinya. Itu juga mungkin yang membedakan antara orang yang dewasa, atau yang belum, orang yang bertakwa, atau lalai.
Lirik lagu yang berdendang di playlist saya malam ini mengingatkan bahwa semua yang kita lakukan di dunia ini tidak ada artinya, jika kita tidak sembahyang. Kemudian saya teringat pesan saudara kandung saya di suatu waktu, tentang ibadah (sholat;red) sebagai prioritas. Ingat posting saya tentang reparasi hati. Saya selalu membutuhkan cahaya-cahaya seperti ini sebagai penyeimbang hidup yang seringkali membuat hati kita keruh dan kelu. Karena itulah, saya berdoa semoga nantinya didekatkan dengan orang-orang yang masih mempunyai lentara hati, ketika perputaran malam yang nyata adalah hal yang tidak bisa dielak lagi,
Hari Minggu ini,
Saya menjemput dua tamu, pewawancara beasiswa ADS dari Jakarta. Pesawat GA 206 hari ini datang on time. Bahkan lebih cepat 5 menit dari schedule di arrival board. Saya sangat menikmati dan senang dengan segala pertemuan dengan orang-orang baru dalam hidup. Tetapi semoga saja saya bukan golongan orang yang dengan cepat melupakan orang-orang dekat saya selama ini. Mereka yang lalu lalang dalam kehidupan kita sangat beragam, dan ada peribahasa yang mengatakan bahwa only true friend who leave footprint in our heart. Subhanallah, beruntungnya mempunyai sahabat-sahabat seperti ini. Dan saya ingin sekali belajar memaknai persahabatan, menangis karena indahnya persahabatan, dan karena perasaan saling menjaga dan mengingatkan. Tidak menertawakan kelemahan pribadi, tetapi tertawa renyah karena terhibur dengan kebodohan yang dimaklumi. Tidak egois adalah salah satu kuncinya.
Belajar berbagi memang sulit. Oleh karenanya saya sangat menghargai teman-teman yang datang kepada saya untuk berbagi, ternasuk mengenai segmen dan ritme hidupnya. Mereka yang datang, duduk ,dan menceritakan permasalahannya. Mereka yang dengan sabar dan ikhlas menceritakan segala ikhwal kehidupan, dan meminta kita mendengar dan berpendapat. Yang sangat saya apresiasi bukan hanya karena saya dipercaya, tetapi lebih karena mereka dengan keberanian ekstranya mau membagi masalah personalnya kepada orang lain. Dan akan saya jaga rapat-rapat verbatin percakapan empat mata tersebut. Temans, kalian memang pemberani.
Kembali ke topik. Di bandara pagi ini, mata kecil saya mengamati dan merekam berbagai laku dan gerak anak manusia. Saya selalu terpukau dengan dinamisnya aktivitas di bandara. Seakan saya ingin sekali masuk ke dalamnya, dan menjajali gate-gate nya, dan mengejar pesawat yang akan mengantar kita ke belahan tempat yang lain. Bandara memang luar biasa. Semoga selalu mengantarkan saya ke suatu perjalanan yang penuh dengan passion dan excitement.
Tahun kedua saya menjemput pewawancara ADS. Mereka sebagian besar adalah peneliti dan akademisi. Saya selalu simpati dengan orang-orang yang mempunyai kejernihan fikir seperi mereka. Terutama bagi mereka yang menerapkan ilmu padi. Memang semakin tinggi ilmu, seharusnya kita semakin merunduk. Beliau-beliau ini sangat humble, down to earth, dan pandai menghargai orang lain. Yang terakhir saya sebut merupakan perkara yang tidak mudah karena mereka yang merasa unggul dan melebihi orang lain cenderung tidak peka bahwa orang lain membutuhkan penghargaan dan penghormatan yang selevel dengan yang mereka inginkan.
Baiklah pembaca yang budiman, sekian saja untuk sementara waktu. Saya akan berbagi banyak hal di akhir tahun kemarin. Saya takut pagi hari akan segera menyapa padahal tubuh ini belum mendapat porsi istirahat malamnya. Terimakasih.
Monday, December 13, 2010
Berpacu dengan perubahan
picture from here

"Perubahan adalah hal yang paling abadi di dunia ini." Entah siapa yang pertama kali mengatakan kalimat tersebut sehingga banyak orang yang mengutipnya. Banyak yang sepakat, namun tidak sedikit yang menyanggahnya. Dan jika kita menjawab pertanyaan dalam intro di atas. Saya yakin pasti interpretasi setiap kepala akan berbeda, bervariasi, dan tergantung konteksnya. Yang jelas kita harus siap dengan perubahan. Sadar ataupun tidak, kita berubah. Pun dengan lingkungan kita, teman-teman, pemikiran, idealisme, pilihan hidup, dan sebagainya.
Akhir-akhir ini saya berusaha berdamai dengan perubahan. Saya juga mengeja berbagai perubahan di sekitar saya. Kemudian, saya mencoba mengingat dan merenung. Saya kah yang berubah, atau lingkungan saya yang berubah? Siapakah yang bertanggung jawab? Manakah yang lebih baik? Atau sebaliknya, saya yang tidak bisa bergaul dengan perubahan yang ada? Saya yang terlalu asyik dengan zona nyaman saya?
Rasa. Anugerah yang tidak bisa dibohongi. Dibalik kata, senyum, dan tawa yang nyata, selalu ada rasa yang tersimpan. Entah apa itu, saya pun tidak bisa mendefinisikannya. Namun saya betul-betul merasakan. Dan memang perubahan adalah sebuah proses yang harus dinikmati. Dan, keberlanjutan perubahan harus dibarengi dengan peningkatan kualitas diri.
Banyak hal yang menginsipirasi untuk berubah, dan/atau berpacu dengan perubahan. Terutama dari dan untuk lingkungan terdekat kita. Saya bersyukur mereka ini ada, yang membuat kita berfikir dan berubah. Walaupun prosesnya pahit, sakit, tidak nyaman, berat, namun rasa itu menempa kita untuk naik ke tingkatan yang lebih tinggi lagi. Bahwa selalu ada yang kita syukuri, bahwa kita tidak sendiri, bahwa kekuatan Maha Dahsyat itu ada, bahwa semua kembali ke diri kita. Berbahagialah hari ini yang bisa merasakan perubahan, atau yang menjalani perubahan.
Siapkah? Berubaaaaaah!!! Hahaha. Saya jadi teringat tayangan-tayangan superhero waktu kecil. Ketika dalam kondisi dibutuhkan, mereka selalu siap berubah, untuk kepentingan khalayak banyak, tidak hanya untuk kepentingan dan ego sendiri. Nah, inilah tingkatan perubahan yang juga saya idamkan. Tidak ada kata terlambat untuk perubahan ke arah lebih baik. Semoga semesta alam mendukung. Semoga kita bisa berdamai dengan perubahan.
** Perubahan dimulai dengan mencoba berdamai dengan yang kita miliki. Saya sangat bersyukur di atas segalanya bahwa Tuhan Maha Adil dan berpihak pada keadilan. Manusialah yang seringkali tidak adil pada dirinya sendiri, termasuk saya sendiri.
** Terimakasih atas anugerah terindah dalam hidup. Ketulusan dan kasih sayang.
** Mulai sekarang rencanakan perubahan apa yang akan kamu lakukan untuk esok hari.
Terimakasih atas kebijaksanaan setiap manusia.
Salam damai,

Monday, November 29, 2010
Words Speak
"The formula for success is simple. Practice and concentration. Then, more practice and more concentration.."
I dearly need both of them so badly right now.
Thursday, November 25, 2010
Menyemai Harapan dan Keyakinan

aku kalut menjelang malam, dan tak tenang ketika pagi datang..
aku punya keyakinan, tapi lemah menghadapi bayangan
aku bersembunyi dalam alasan-alasan,
hingga tak berani menampakkan ketegasan..
aku terpaku, berselimut masa lalu yang syahdu
aku diam-diam mengintip, hingga layu dalam kelu.
kesia-siaan yang nyata, kerapuhan yang mendera
semoga segera berlalu berganti harapan,
dengan penuh keyakinan dan ketegasan
(kiki fauzia, november 2010)
kawan, ternyata saya tidak sendiri. ternyata tertatih dan terjatuh ketika mencoba berlari adalah teramat menyenangkan. maka, tetaplah mempunyai keyakinan. itu pula yang coba diingatkan sahabat saya di suatu hari. ingat juga, tetaplah menguatkan hatimu bahwa ada teman-teman di sisimu. yakinlah, bahwa senyum mereka sangat berarti. penghargaan dan uluran tangan merekalah yang sedikit demi sedikit membuatmu bangkit kembali. maka, janganlah sedih, jika ada diantara kawan lain yang mengecewakanmu. mungkin, mereka belum mempunyai kesempatan untuk berbagi kasih sayang dan senyuman denganmu. dan tetaplah yakin, mungkin suatu saat nanti kesempatan itu tiba. maka, tetaplah kuat, dan tetaplah jadi diri sendiri.
pernahkah kawan, kamu bosan dengan hidupmu yas pas-pasan. hidup yang tidak menarik, dengan ritme yang monoton. sementara, kamu mengamati di sekitarmu, mereka bersorai dengan kegagahannya, dengan keberaniannya, dengan kesombongannya, dengan kekuatannya. dan kamu kebingungan, "dengan apakah saya akan bersorai?" kamu pun menciut dan mulai takut. tapi jangan, tetap tenanglah. syukuri jalan hidupmu. perhatikanlah, masing-masing mempunyai lintasan masing-masing. tapi jangan cukup di situ. saya juga baru tahu bahwa kita harus tegar untuk kuat. kita harus berontak untuk bangkit. tegarlah dengan terbiasa menghadapi kesulitan-kesulitan. bangkitlah untuk kebaikan dan kebenaran. dan masa depan yang memulaikan orang orang terkasihmu. berontaklah dengan semangat yang tetap tenang.
kawan, saya bersyukur melewati hari ini dengan suatu hasil yang tidak sia-sia. saya belajar bahwa saya tidak bisa berdiam diri, menunggu, dan akhirnya menyesali. saya harus bergerak. saya harus bertemu orang-orang. saya harus berani bersikap. saya harus tetap positif. saya harus belajar bahwa saya hanya aktor dari kehidupan. saya harus percaya diri, dan berperan sebaik-baiknya. dan yang paling saya syukuri, saya senang dekat sang sutradara kehidupan. jujur, saya teramat berusaha mendekatinya. saya berdoa semoga selalu didekatkan. karena saya merasakan kedamaian yang memompa semangat-semangat juang saya untuk selalu mempersembahkan yang terbaik, dalam upaya menjadi sebaik-sebaik manusia.
tuhan, saya meminta didekatkan denganmu selalu. berikanlah saya keyakinan bahwa saya layak memperjuangkan harapan-harapan saya. semoga tidak hanya semu. semoga berarti dan bermakna. semoga selalu lebih baik, lagi, dan lagi. semoga saya juga tidak buta dan tuli, dan berani menyuarakan sikap diri bahwa selalu ada hari esok. esok seusai esok. esok yang harus dipertanggungjawabkan. oh tuhan, saya semakin malu. jika saya hanya meminta. berbuat untuk meminta lagi. semoga ketulusan itu selalu mendasari. lillahi ta'ala.
gumaman tak bernyawa, dari seorang yang berusaha memberi nyawa pada keyakinan dan harapan. semoga tuhan mengabulkan. amiien
salam,
Sunday, June 20, 2010
satisVication
This Saturday, a group of NOHA (Network of Humanitarian Action) Visiting Scholar, mostly from Europe, joined with us, program coordinators and staffs from Office of International Affairs, UGM to spend the lovely Saturday to celebrate the preciousness of culture, art, and history.
First, we went to Imogiri, Bantul district, southern part of Yogyakarta province. We had a pilgrimage in Royal cemetary, a traditional resting place of Sultanese of Surakarta and Yogyakarta. Interesting pieces for me are, first, the brilliance idea of Sultan Agung on how he put the concept of this cemetary. There is always a great philosophy on it, meaning of beyond and within things. Second, the value of stepping forward and higher. I define as the need of process, takes times, willingness, efforts, and target. Third, "we can make it, if we want it". Before 'hiking', the guide told us how many level of floors. At the beginning, maybe we are doubt about making it or not. But if we want it and enjoy it, we fight our hesitation and win with satisfication.
Ramayana Ballet Performance. There are many tourist spent much money to enjoy the performance. Many visitors from another city and province as well. After a while longing for a seat, finally I sat next to, and among foreign tourists who seem enjoyed the performance. The tourists on my right side, focused on capturing the scene of the performance, using his SLR camera, while the foreigner on my right side, paid most attention only to the stage, even rarely blinking.
This cultural performance and the foreign tourist gazing grabbed me to the experience when I was also being a foreigner and enjoy the kind of art and culural performance. I amaze how art and culture binding people together with appreciation and amazeness. People can have different understanding and interpretaion, but we appreciate this form of creativity and expression.
When we see, we even compare things. Normal. We did many times, including to compare the performance. Based on my previous experience seeing 'Rama-Shinta storyline' performance, What I got, first, it's different. Compare means value, which I can value that the performance tonight was paid much more so the quality of performance needs to exercise and improve more.
I also concerned about regeneration. For the sake of cultural heritage, I think we really need to preserve and regenerate this kind of practical art and culture.
dont look at us!! look at how beautiful background we had. sorry for the blurry pics.
The Highlight News Last Night was:
OOps! I did it (again)! Pathetic side of me!
"The fool one is one who falls into the same hole, again, and again."
Why, I never learned from my previous precedent! That I can call PATHETIC!
Thank you my dear friends who always understanding and helping me out!
Regards, _Kf_
Tuesday, June 8, 2010
Ramalan Joyoboyo
[sungguh zaman gonjang-ganjing
*it's kind of true.
Saturday, May 22, 2010
Purification
Wednesday, May 19, 2010
Wabah Jangkrik
Monday, May 17, 2010
My Ingredient
My ingredient for today's mood:
"If you are grateful [to Me], I shall most certainly give you more and more" لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ
Regards,

Saturday, May 15, 2010
Procrastination


Then, I thank to my mouse because I met my therapist on such a sacred place. There, all problems related to procrastination was comprehensively discussed. Here is also very interesting academic research about procrastination. Okay, I need to focus on my therapy. You can also join us and let's find out what we attain later.
My special credit to: Procrastination Research Group
Carpe diem regards,
