Showing posts with label self-reflection. Show all posts
Showing posts with label self-reflection. Show all posts

Tuesday, June 7, 2011

Apreciate Listening

Appreciation.
Early this morning before starting the day, I read an inspiring article about "appreciation". It gave me spirit to start act that way. The article suggested that appreciation is a key to make our life more enjoyable and passionate. So by do appreciate things in our life we can produce an ultimate spirit, and increase our engagement into different things in life. How powerful it is! But how was it? Is that easy? As the day goes by, the answer is not as easy as I thought would be.

So, did I appreciate my day, people I meet, my work I have done today?
Woahhh, that would be such a reflective question. But, yeah, that's not as easy as I thought. To appreciate people or thing genuinely, we have to acknowledge and reduce the what is called selfishness, egoism, stubbornness, and many negative thoughts that might come across our mind.

What I learned today is about aspect of appreciation which are to be patient and listen more. Please, let other finished their sentences first and have more time for us to listen. Yeah, listen them patiently! Don't interrupt if they are not done yet! Your patience will be worth. Appreciation to people can be done by listening them patiently. Yeah, I am still learning, and it will be worth-learning.

Let's listen others more,

Kiki

Saturday, May 14, 2011

Menangis dan Belajar Ikhlas


picture from here

Halo saudara sebangsa dan setanah air..

Tadi malam saya sempat sangat sedih.
Semua terjadi begitu cepat dan sekejab. Saya yang sama sekali tidak mengharap apa-apa, tiba-tiba diberi kesempatan untuk berharap terlalu tinggi. Tinggi sekali. Saya sempat sangat yakin sekali, walau ada grogi. Saya 'mungkin' juga terlampau percaya diri, dan mendahului kehendak-Nya. Saya merasa terbang tinggi ke awan dan melayang-layang. Karena salah satu impian saya, what i wanted really really badly, is in front of my eyes. Di lain sisi, ada hal yang harus saya korbankan. Dan ada kernyit bahagia di hati bahwa ada justifikasi untuk menunda suatu keharusan yang harus segera diselesaikan itu. Hahaha.. Yang, jelas semua terjadi begitu cepat.

Tiba di hari H. Ada kesalahan kecil fatal yang saya perbuat. Soal penulisan dan kejujuran. Di situ saya belajar, bahwa "Honesty is the best policy, and being thorough is a must". Di sesi interview, saya dihadapkan pada tiga orang pewawancara. Nampaknya saya harus lebih berusaha meyakinkan diri jika dihadapkan pada sesi wawancara semacam ini. Beberapa pengalaman terdahulu merupakan pelajaran berharga agar saya lebih mengeal diri sendiri. Kemarin berbeda, dua di antara pewawancaranya saya kenal baik. Tapi saya justru merasa tidak nyaman dengan itu. Haha. Entah mengapa, saya sendiri tidak memahami. Mungkin karena ketika kita sudah kenal, ada beberapa objektifitas yang tereduksi. Entah menguntungkan atau merugikan, yang jelas saya merasa tidak nyaman. Hehe..

Dalam masa penantian, dan sebelum keputusan diketuk palu, feeling saya sangat hambar. Artinya, saya tidak berharap banyak. Dan pun ketika kenyataan terasa pahit, saya masih merasa hambar. Saya sudah legowo sejak sebelumnya bahkan. Tapi ketika diberikan penjelasan mengenai kronologis dan alasan, saya justru sedikit mengernyitkan dahi, "is it fair?". Well, then I guess, banyak pertimbangan, dan mereka mempunyai otoritas untuk memilih dan mempertimbangkan. Justru yang pahit adalah di balik penjelasan itu. Kalauupun benar, seharusnya saya tidak usah tahu saja. Siapa tahu itu hanya 'penjelasan manis' untuk menenangkan dan menghilangkan 'rasa kecewa' dan 'malu' saya. Hanya Allah yang Maha Tahu bagaimana keputusan di buat. Dalam hati saya berdialektika dengan topik
"mengapa Anda layak untuk benar-benar diperjuangkan" Dan kesimpulan saya, ketika Anda memang tidak layak, pertimbangan lain-lain itu hanyalah faktor sekunder.

Akhirnya pelukan sang Ibu itu begitu menenangkan. Saya pun berusaha ikhlas, walaupun masih ada sedih dalam hati. Saya ingin segera pulang dan menceritakan semua kepada keluarga saya. Seperti biasa mereka menangkan. Saya ke kamar dan kemudian lahirlah entry blog saya sebelum ini. Entah, saya merasa harusnya saya bisa menangis di dalam kamar. Tetapi tetap saja belum bisa. Saya pun memaksa diri untuk menangis. Haha. Dan saya bangga air mata itu bisa keluar. Mengapa harus berusaha dan bangga? Karena saya tergolong anak yang jarang menangis. Entah, mungkin bisa disebabkan oleh beberapa hal: mungkin kurang sensitif, kurang sentimentil, hati kelu, atau positifnya, saya memang kuat, tidak cengeng, dan memang tidak perlu. Yang jelas, saya pernah berdoa supaya Allah memberikah hati yang lebih sensitif dan 'sensible'. Tapi dalam beberapa kejadian, tangisan saya selalu terlambat, memang. Dan akhirnya, saya senang bisa menangis malam itu. Lega.

Sayapun memejamkan mata. Hari pun berganti. Pagi ini saya bertemu teman-teman seangkatan untuk berfoto bersama. OMG, it's been four years. Can I record what I have done during the past years? Kemudian saya berfikir dan mulai menyadari, kuncinya adalah tahu tujuan hidup dan ikhlas. Dua hal itu lah yang penting.
Karena ketika kita tahu apa tujuan akhir hidup kita, dan ikhlas dalam menjalaninya, pasti tak ada sedikit pun yang bakal kita sesali. Tak ada pekerjaan dan perbuatan kita yang sia-sia, kecuali kita sendiri yang membuatnya sia-sia. Kesedihan dan perasaan apa pun sifatnya hanya sementara. Saya pun menguat kembali, mengikhlaskan semuanya lagi. Dan mengingat kembali tentang apa tujuan akhir hidup saya. And at the end, I realize that I should have faith in God. Because He is indeed the Best Life Director!

Saya beriman, oleh karenanya saya kuat! Belajar ilmu ikhlas memang tidak mudah.

Salam ikhlas, dan tetap semangat!

Kiki Fauzia


Thursday, April 7, 2011

The Flash of 'Mocha Coffee-Milk' Tale

credit picture here

Before Getting Involved, Know Yourself First and then, Break Your Limits!

I committed to jump in ‘Candradimuka crater’ once again, in a different place with a different motivation and circumstances. But it really recalled my old memory, three years ago when I heated up on this kind of battlefield. The differences, I was almost three years older now and there were some technical yet unessential distinctions to note. Instead of all I experienced and learned, I felt overwhelm, blank and rich at the same time. Blank and weightless were just like ‘de ja vu’, an exact feeling as I finished the last personal-interview section three years ago. Rich was due to all insights, mind-recharging, inspirations, and friendship I got during the two days quarantine. But then, these two feelings exhausted me for a while until I consciously opened my eyes on the next day. Then, I felt grateful and decided to give a huge smile because the sun still intently warmed my skin and my heart. I still smiled because I had nothing to hide; nothing to complain, and wouldn’t grumble on the back. And they were wrong if think so.

I heard quite often a wise word,
‘experience is the best teacher’. On this case, not for me, I really had no idea what ‘the teacher’ already taught me. Yeah, that’s a fool of me. The worst part is I couldn’t mention at least one of benefits I gained from my previous experience. In fact, it’s plenty after I reflected again lately. And I think it’s really pathetic that I couldn’t come up with such a sincere yet solemn answer. I didn’t know why, but I knew the problem is on me, and attached on my limits need to be founded, my self-identity, and my persona. After all, I still question myself, “DO I NEED TO CHANGE? In what extent?” And I actually got some answers. Therefore, the decision needs to be made. Just like what Mba’ Atri said to me “it’s all up to you whether you want to apply the other colors or not, whether you want to use what you have already absorbed or not,”

Processing the Metamorphose

I started the struggle with a high hope to win the battle and strengthen my wings. I began a day before D-day with such a disappointed and bad feeling. First, it’s out of our control when the weather turned dark and ‘angry’. Second, we already did our best and anticipated the lateness by saving a couple hours on ‘our pocket’, but then man only made a plan, and the rest depended on X factors, including others and stuffs. Finally, God is the only One who disposed. Third, I couldn’t accept any unrealistic reasons and consequences to teach others about the meaning of punctuality. Then, I concluded that it would be such kind of militaristic way to discipline people. What I agreed then is that we couldn’t blame and scapegoat-ing others from our own-mistake. So, a mature people would be fully responsible of what they have done. And at the end, I appreciated the win-win solution offered by the committee.

At first, I felt calm and excited to experience what is like to be on the quarantine. There were three things that made me glad and never regret: First, I invented new friendship and new family in my home-province. It’s always delightful to made new friends who can enrich our horizon and life itself. I felt very affluent when looked upon them, both the participants and the committee. It’s like seeing mirror and rainbow. I liked mirror-ing myself when I saw the reflections of me from their role and character. And, I was surprised yet proud when they showed me the beauty of ‘rainbow’. And once again, it enriched me and effortlessly opened my eyes to the power of process itself.

Second, it’s a worth-chance to know my beloved province, East Java, better. Since I am almost four years studying in Yogyakarya, below my self-consciousness, I have often admitted that my knowledge and understanding about Jogja is much better than my own-province, including the people and the place. But, don’t ever doubt on my pride and my sense of belonging to East-Java. No need to question on those. East Java is very unique and distinctive. Despite the geographical and cultural mixture, it ranges widely from west to east, from north coastal to south coastal, from the land to the sea, and others. The dialect and daily conversation is also different from one region to another.

My small-observation met the answer when I saw, listened, and interacted with the 24 youth potential. I enjoyed a lot when we talked and joke around with Boso Jowo. In my daily basis, either in Blitar or Jogja, I used to speak kromo with my parents, and also elder people. But in my peer environment, I accustomed to speaking Bahasa Indonesia to make other friends who mostly came from another background and culture understands the idea of or conversation. In Surabaya on the last three days, I really enjoyed the privilege of speaking with my mother-tongue language, Boso Jowo. And it’s interesting to identify the use of different particles in conversation, such as …ta? Rek,

After all, some committee judged me that I am more Jogjanese than East Javanese or Blitarnese? What a surprised! I myself hadn’t asked the reasons yet. I assumed one of their pre-assumptions was on the matter of straightforwardness, and also in line with my nature. But it happened quite a lot thou when many friends often thought that I am originally from Jogja or Solo or Central Java. And only a few believed that I am from East Java. Is this a part of people justification and stereotype towards others? So, please mind your thought!

Before I started mumbling around, I would conclude the last thing that made me glad during the process. It is the breeze of competition. Lately, I have been hectic inside my own-shell which is my environment and my activities, such as my undergraduate –thesis and heap of works in the office. These two things grabbed most my attention and time until I forgot to update the news and upgrade myself. It’s my comfort zone that satisfies my recent-priority and future target. So, what wrong? I guess, the reason is when we feel enough and satisfied, we easily forget that we need to perpetually improve ourselves, and look beyond our shell to find out what’s more than ‘meet on the eyes.’

The competition made me aware that my I had to keep progressing and processing my self. It’s not only about my accomplishment and satisfaction I reached, but what we have given and what we have contributed, for the sake of betterment not only for me, but also my surrounding. Creating a small step to generate the massive awareness is also essential to advance the nation.

‘Diaspora is only an ice-berg’

From the moment on, I won’t forget the relation between DIASPORA and DISPORA. It made me realize that I really need a brain supplement and an outrageous therapy. That’s really true^^. And too bad, I just realized it. On my turn of sudden speech, I had twice chances to pick the topic. My first pick is Joko Tingkir. Oh Gosh, I was not really sure what the legend is about. My brain kept telling me about Rara Anteng and Joko Seger which I knew was the absolute wrong. So, with Bismillah I picked another one. And tarrraaa, I got DIASPORA. Ohhhh damn! It sounded very familiar, but I totally blank, forgot, and ‘messed up’ as if my brain cells ruined my memory and logical thinking. So the result, I stiffed powerlessly and spoke in a silent voice. At that time, I felt like flying after consuming drugs until I finished answering series questions related to the topic.

I disappointed myself, because two things. First I lost my voice on the sudden speech matters. I am late to realize that it's not only about the topic but how we should formulate a speech in certain time with our creativity, spontaneous yet fast-thinking and just be confident to keep talking. Second, I embarrassed many labels tagged in me, especially the department and university I belong to. I should have become an expert of this topic but the fact is the contrary. So, the outrageous therapy needs to be made at the earliest convenience. The DIASPORA precedent is only an ice-berg phenomenon about finding my limitations. And I couldn't agree more with Mas Yesaya who said that we should have in-depth understanding towards the knowledge or issues, as a whole, not only from its skin.

The continuous lesson learned filled in each session. For me, it's not only about liberating myself from my comfort zone, but also about honestly finding and admitting my limits. Hence, I should learn as follows: to think and learn fast, focus on what in front of us, rehearse to memorizing the others name properly, learn history and culture of Indonesia and East Java, and be brave and confident of our capacity. Because after we have discovered the limits, we would be able to take a small step to cross our boundaries. It's indeed not comfortable at first. But then, we would realize how an exceptional experience we passed through.

New Family Made

These two days in quarantine meant a lot to me. The time went slowly but turned out productively and unforgettably. We shared many moments together, from ‘yell-yell’, talent show, city exploration, group dynamic, and many other moments to remember. From the cheerful encouragement until the heart-sport of high tense session, that bonded us as one family, in the name of hope and dream. I was so proud and glad to be one of them. They are mostly younger than me, but who knows that they are more passionate, enthusiastic, braver, and have potential inner-self and talent that will grow and glow brightly in the future.

After all, I would like to extend my sincere gratitude and big 'standing-applause' to the whole committee who succeed to spread a positive spirit to us. Each of them has inspired me in various possible ways that at the end, will lead me to follow my dreams. And for all the readers, please keep in mind that before getting involved, know yourself first, then, break your limits to discover a brand-new you who are awesome and unbeatable!

Keep positive and keep smiling :)

Best regards,


Kiki Fauzia



Thursday, June 17, 2010

Bermain Angka

Diri ini bertanya (dalam hati), "mengapa angka diciptakan?
Untukkah : kalkulasi, standarisasi, aktualisasi, visualisasi, materialisasi, rasionalisasi (persepsi).
Ataukah : belum terkonseptualisasi dalam proses i-sasi yang lain.

Dalam hidup, manusia selalu mengalkulasi,

deret-deret angka membayang menghantui, ketika
nilai menjadi tak bernilai (lagi) dalam standarisasi semu.
umur senantiasa menghakimi, ketika aktualisasi diri terstigmatisasi.
waktu semakin banyak terlewati dalam hegemoni visualisasi komersialisasi materi.
Semua terkristalisasi dalam 'sesal' dan 'harap'.


Kehidupan dipenuhi angka-angka yang menjustifikasi.
Dari mana datangnya angka-angka itu?
Mengapa begitu mendistorsi?
Mengapa selalu mengintimidasi?

Kalkulasi manusia bagai deret hitung.
Sementara, pemberian Tuhan melebihi 'multiplikasi' deret ukur.

Supaya menjadi manusia yang beruntung, maka (lagi-lagi) janganlah lupa bersyukur.

.:: Sudahkah kita mengestimasi kalkulasi berat timbangan amal-dosa kita di Yaumul Hisab dan Yaumul Mizan kelak?::.
Akankah hasilnya diantara: 1234567890
Wallahu a'lam bishowwab.

Salam angka
di 17062010; 18:46 WIB
semester ke-6
tahun ke-3
usia 20+,
ipk: 3,--
..
.

-Kf-

Saturday, June 12, 2010

Aib Manusia dan Penjagaan Allah

Selamat sore saudaraku semua.

Saya menulis posting ini di kala hujan berteman petir sedang beraksi di luar sana. Oleh karenanya, izinkanlah saya berteduh di sini sebentar, dan berbagi mengenai perkara yang sangat lekat dalam kehidupan sehari-hari sambil minum teh panas yang menghangatkan dada. Perkara yang ingin saya bagi adalah mengenai aib kita dan penjagaan sang Khaliq. Semoga saja bisa meneduhkan hati. Ini merupakan sarana untuk saling mengingatkan dan juga menegur diri saya sendiri. Baiklah, saya akan memulai mengutip hadits dari Rasulullah S.A.W,

“Siapa yg melepaskan dari seorang mukmin satu kesusahan yg sangat dari kesusahan dunia niscaya Allah akan melepaskan dari satu kesusahan dari kesusahan di hari kiamat. Siapa yg memudahkan orang yg sedang kesulitan niscaya Allah akan memudahkan di dunia dan nanti di akhirat. Siapa yg menutup aib seorang muslim niscaya Allah akan menutup aib di dunia dan kelak di akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong saudaranya.”

Sejak awal mengenal hadits itu, saya sangat kagum dan terharu bagaimana agama telah mengatur sedemikian rupa mengenai adab berhubungan dengan orang lain. Bagaimana seharusnya kita saling menjaga dan menyayangi orang lain layaknya diri sendiri dan saudara kita. Dan, seperti yang telah saya cetak tebal di atas, termasuk penjagaan kita terhadap aibnya.

Pertama, saya akan mendefinisikan pengertian aib. Aib menurut pengertian harfiah saya merupakan sesuatu yang diasosiakan buruk, tidak terpuji, tidak etis, tidak 'sreg' dan negatif oleh kesepakatan bersama dalam kehidupan sosial. Dalam relasi horizontal antarsesama manusia, aib adalah bagian tersendiri dalam kotak hitam kita, yang tidak akan kita sebarluaskan karena akan menimbulkan stigma negatif yang dilabelkan orang lain pada kita. Sama halnya dengan sifat ketidaksempurnaan manusia, pasti setiap individu mempunyai cerita, pengalaman, kebiasaan, dan karakter yang bisa jadi oleh masyarakat disebut aib. Namun, kebanyakan manusia tidak sadar dan lalai dimana dan apa aib-nya sendiri.

Dalam kehidupan harian sebagai makhluk sosial, seringkali kita kurang 'sreg' dan tidak suka dengan apa yang dilakukan orang lain. Itu wajar dan sering. Seketika kita men-judge, seketika pula kita merekam itu dalam hardisk kita. Tidak jarang pula, kita menemukan fakta empiris dan interaksionis tentang orang lain, yang membuat kita terkejut dan memberikan label tertentu pada mereka. Hampir dipastikan, berkali-kali kita mendengar informasi dari sumber-sumber kedua, ketiga, keempat dan seterusnya yang kadang corrupt dan bias-added tentang orang lain yang membuat kita berasumsi 'macam-macam'. Dan kadang secara spontan kita 'mengata-ngatai' orang lain karena kekecewaan dan luapan emosi yang memuncak.

Bagaimanapun yang saya jabarkan di atas adalah praktik-praktik yang sering terjadi, dan sangat berkebalikan dengan adab dan etika dalam hubungan horizontal antarsesama manusia yang diatur oleh agama. Padahal ingatlah saudaraku semua, bahwasanya aib orang lain adalah cermin dari aib kita, pula. Padahal aib orang lain adalah pembelajaran berharga. Padahal aib orang lain berpotensi menjadi milik kita. Oleh karenanya, agama sudah sangat mulia mengingatkan untuk menyimpan aib orang lain. Dan sebagai balasannya Allah akan menjaga aib kita. Balasan yang sangat luar biasa, karena penjagaan dari sang Khaliq melebihi segala-gala penjagaan di dunia dan akhirat.

Manusia sering lupa bersyukur bahwa begitu banyak penjagaan Allah akan aib-aib kita. Jika kita mengagumi dan mendewakan manusia lain belum tentu pula karena dia 'bersih', tapi karena secara kasat mata kita belum tahu dan bahwa Allah masih menjaga aib-aibnya. Kalaupun orang lain melihat kita sebagaimana baiknya atau sebagaimana kualitas tertentu yang kita miliki, cuma satu yang harus tertanam dalam dada kita, terimakasih kepada Allah yang telah menjaga dan menyembunyikan aib kita. Oleh karenanya, jangan sombong dan jangan mengumbar aib orang lain jikalau mengingankan agar orang lain dan Allah melakukan hal serupa pada kita.

Masyarakat kita adalah masyarakat komunal. Masyarakat yang selalu mengagungkan label makhluk sosial, namun di lain sisi, hipokrit dan 'sakit'. Begitu seringnya tanpa sadar kita menyingkap aib orang lain, memperbesarnya dan mengembar-gemborkannya sehingga meluas dan semakin mantap untuk diperbincangkan. Fakta yang miris itu bisa terlihat dari fenomena di masyarakat: panasnya gosip di infortainment, larisnya forum 'kurang penting' hanya untuk membicarakan aib orang lain, dan kita selalu memulai topik dengan membicarakan orang, bukan event, atau ide. Padahal ada sebuah saying begini, "one with great minds tend to discuss ideas,one with avarage minds tend to discuss events, one with small minds tend to discuss people". What do you think?

Baiklah saudaraku, saya akan merangkumkan dalam beberapa kata. Kita manusia, bukan wali, tidak lepas dari aib dan prasangka. Janganlah sibuk membicarakan aib orang lain sebelum kita introspeksi diri. Janganlah sombong akan persepsi dan prestasi kita di hadapan orang lain, namun bersyukurlah bahwa Allah masih sayang dan menyimpan aib-aib kita. Tidak membicarakan aib orang lain bukan berarti menghindarkan diri kita dari sikap kritis, namun jagalah lidahmu dan mengertilah proporsi dan kondisinya. Berikanlah tanggapan yang proporsional saja. Dan janganlah lupa bahwa : Siapa yg menutup aib seorang muslim niscaya Allah akan menutup aib di dunia dan kelak di akhirat. Subhanallah.

Mari memperbaiki diri.

Tuesday, June 8, 2010

Ramalan Joyoboyo

pancen wolak-waliking jaman
amenangi jaman edan
ora edan ora kumanan
sing waras padha nggagas
wong tani padha ditaleni
wong dora padha ura-ura
sak beja-bejane sing lali,
isih beja kang eling lan waspadha

[sungguh zaman gonjang-ganjing
menyaksikan zaman gila
tidak ikut gila tidak dapat bagian
yang 'sehat' ikut berpikir
para petani dibelenggu
para pembohong bersuka ria
beruntunglah bagi yang lupa,
(tapi) masih beruntung bagi yang ingat dan waspada]


*it's kind of true.
this life is gettin' crazy, esp morally.
what kind of civilization we live in.
there might be side effect of development and globalization.
just be aware and watch out yourself, first!
best regards, Kf

Saturday, June 5, 2010

Tamparan Keras

Kejutan getir di depan mata. Saya tidak bisa menghindar dari tamparan keras yang sangat menyakitkan ini. Anehnya efeknya begitu menguatkan. Pertama kali, helaan nafas pun terasa berat. Seketika dada serasa sesak dan ada beban berat di pundak saya. Namun, lambat laun, saya meyakini bahwa kenyataan ini adalah pelajaran berharga, Pengalaman ini akan memperkaya batin dan mental saya. Setidaknya untuk memberikan kata cukup pada kesia-siaan dan inefisiensi sikap dan pola pikir. Ya Allah, hamba mohon perlindungan atas segala siksa dunia dan akhirat! Hanya kepada-Mu lah diri berserah dan memohon pertolongan!

Yang meringankan separuh beban saya kemudian adalah surat Al Insyirah yang konsisten, tak pernah luput dari bibir dan pesan tentang hal-hal yang mengajaibkan kehidupan, yakni "kejujuran, kerja keras, dan upaya bagi kebaikan sesama." Sebenarnya tiga karakter di atas bisa menjadi obat sekaligus jawaban atas tamparan keras saya hari ini.

Kejujuran. Kerja keras. Upaya bagi kebaikan sesama. Semoga saya bisa menjiwainya dengan sepenuh hati.

Thursday, June 3, 2010

Thursday Night Playlist

Allah Maha Cahaya (Opick)

Jauh melangkah meniti waktu berlalu
Jauh berjalan lewati berjuta warna kehidupan
Tanpa sadari dalam cermin wajah ini
Bertambah umurku dalam hidup yang semakin merapuh

Allah bukalah hatiku, bimbing di jalan terang-Mu
Selamatkanlah jiwa yang gelap dalam cahaya rahmat-Mu
Allah Kau Maha Cahaya beri petunjuk sang jiwa
Ampuni diri yang lelah kadang sesatku melangkah


Allah sang Maha Cahaya menerangi gelap jiwa
Allah sang Maha Penguasa padanya hati berserah

Begitu lirih tanpa sadar air mata
Menjadi saksi banyak waktu sia sia
Tanpa sadari dalam cermin wajah ini
Bertambah umurku dalam hidup yang smakin merapuh

Allah bukalah hatiku, bimbing dijalan terang-Mu
Selamatkanlah jiwa yang gelap dalam cahaya rahmat-Mu
Allah Kau Maha Cahaya beri petunjuk sang jiwa
Ampuni diri yang lelah kadang sesatku melangkah

Allah terangi jiwaku
Allah beri petunjuk-Mu
Allah bimbinglah hamba-Mu
Allah ampunilah aku


====

Thursday night is healing-soul time.
Listening this song is very recharging and enlightening.
Amiin Ya Rabb!

Regards, _Kf_

Tuesday, May 18, 2010

Rumusan Masalah?

picture from here

Beberapa hari ini hujan mengguyur kota. Hujan tak hanya menahan raga, namun meninggalkan elegi tentang kelumit peristiwa. Entah apa itu, tapi nuansa hujan memberikan rasa janggal dalam diri. Rasa hangat yang diidamkan, tempo melambat tanpa disadari, dan keinginan untuk lebih memanjakan diri sambil menikmati deru rintik hujan. Namun bagi saya, hujan identik dengan satu kata: sendu. Entah. Dan dalam kesenduan menyelinap, saya masih mencoba merangkai koma, titik, dan tanda tanya. Saya pun makin tertantang menyelesaikan permainan puzzle kehidupan .

Pola-pola yang bergeser, partikel yang saling bertindihan, bangun-bangun yang tidak kongruen, fenomena simetris-asimetris, imparsialitas, subyektifitas, ambiguitas, mispersepsi, ekspresi, kepentingan, ketulusan, kasih sayang, masa depan, penghargaan, kepekaan, artificial, kekuasaan, kekayaan, keangkuhan, prestasi, harga diri, teman, lawan, kecewa, cinta, kinerja, ironi, anomali, produktivitas, dan lain lain, dan seterusnya saya kehilangan kosa kata. Saya gagap menyusun makna. Saya asal memilih diksi. Dan pada akhirnya saya menyimpulkan bahwa: hidup memang harus diperjuangkan.

Oleh karena itu, pertama kali kita harus mampu mendefinisikan rumusan masalah terlebih dahulu, tentang apa yang benar-benar ingin diperjuangkan. Dan pertanyaan mendasar yang perlu kita jawab adalah what do you really want?

If you fail to answer that in details. You should figure it out soon. Beware : time is running.

Regards,

Monday, May 17, 2010

My Ingredient


My ingredient for today's mood:
be grateful of your life.
.be yourself, never pretend, put smile on your face...
...remembrance of Him first and foremost....

feel your inside happiness then share to others genuinely.
being grateful is the key of happiness,
remembrance of Him is the cureall, the most effective pain-healer.

Remember : Ibrahim [14:7]
"If you are grateful [to Me], I shall most certainly give you more and more" لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ

Regards,

Thursday, May 13, 2010

Manusia Sempurna

Manusia, unik.
Dikatakan sempurna karena ketidaksempurnaan ada.
Meletakkan ambiguitas pada sikap yang ambivalen.
Karena itulah komunikasi penting dan interaksi dihargai.

Jangan merasa nyaman dengan kelebihan dan jangan sombong dengan kekuatan. Tapi bersyukurlah karena kelemahan Anda bisa diterima. Berdoalah agar kelemahan menjadi teman baik, yang tidak melemahkan tetapi menguatkan karena adanya penerimaan dan penghargaan, pada sebuah keniscayaan:
Karena manusia sempurna, karena ketidaksempurnaan yang ada.

Salam, _Kf_

Wednesday, May 12, 2010

Mengaji atau Merugi

"Ngaji, Nduuk! Walau ayah! Niat ingsun dipekso. Memang harus dipaksakan untuk memulai."

Sudah berkali-kali nasehat di atas singgah di kuping kananku. Rehat sejenak di otak. Kemudian, berlanjut keluar lewat kuping kiriku. Selalu begitu. Orang tua selalu mengingatkan jika aku mulai menceritakan aktivitasku, termasuk penyakit malas yang menghinggapi jasmani dan rohaniku, diantaranya misalnya ketika aku malas mengaji. Namun ketika aku tidak bercerita, asumsi mereka (mungkin) sudah tidak ada masalah alias aku sudah rutin mengaji. Kemudian aku mencoba mengingat kembali, kapan terakhir aku membuka Al-Quran? Seminggu yang lalu sepertinya. Baguslah, pikirku, tidak terlalu parah. Tapi, apakah demikian?

Persinggungan antara celah peristiwa dan lalu lintas suara hati mengantarku pada bisikan halus dalam kalbu yang nyaris tidak terdengar, kecuali jika aku diam, hening, dan memberi ruang pada desir itu. Desiran itu adalah pertanyaan tentang : "Apakah kita termasuk orang-orang yang merugi?"

Tafsiran merugi memang sangat luas. Jika tinjauannya adalah Surat Al-Asr, maka indikator kerugian adalah waktu (masa). Dan memang, waktu adalah variabel yang paling bisa mendeterminasi apakah manusia tergolong orang yang beruntung, merugi, atau celaka. Coba simak saja pesan dalam ayat (Al Asr) di bawah ini:
1) Demi masa
2) Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian
3) Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran)

Sungguh luar biasa ayat tersebut mengingatkan manusia supaya tidak menyia-nyiakan waktu, menjadi sebaik-baik manusia, bermanfaat bagi orang lain, dan tidak merugi.

Lalu apa hubungan antara membaca Al-Quran dengan orang yang merugi? Jelas ada. Mengaji dan mengkaji Al-Quran bisa menghindarkan kita menjadi manusia yang merugi. Aku juga teringat pesan keluarga waktu itu, terutama berkaitan dengan pengaruh faktor lingkungan dan peluang menjadi manusia yang merugi. Waktu itu mereka mengingatkan bahwa aku harus selalu meng-upgrade kualitas ibadah. Tidak bisa disejajarkan dengan orang lain. Bahkan, jangan sampai menurun sesuai dengan standar orang lain

Misalnya saja, ketika aku sudah rutin shalat lima waktu, aku harus mengusahakan shalat tepat waktu. Ketika aku sudah rutin shalat tepat waktu, aku harus mengusahakan shalat sunnah lain. Ketika aku sudah terbiasa mengaji, hari berikutnya aku harus istiqomah dan memperbanyak ayatnya. Singkatnya, kita harus membiasakan diri memperbaiki kualitas ibadah. Jangan sampai terbawa arus dan pengaruh lingkungan. Misalnya, terbawa kebiasaan shalat ngaret atau bahkan lalai sholat. Semua itu dimaksudkan supaya kita tidak menjadi manusia merugi.

Sesungguhnya formulasinya adalah:
"hari ini lebih baik dari hari kemarin = beruntung
hari ini sama dengan hari kemarin = merugi
hari ini lebih buruk dari hari kemarin = celaka"

Semoga kita tergolong orang-orang yang beruntung. Upgrading diri memang perlu dilakukan setiap hari.

Salam, _Kf_

Thursday, April 22, 2010

simply

simply..
i just wanna be QUIET, when i feel to QUIT

simply..
i just wanna SMILE, when others tend to YELL

simply..
'coz our heart is (still) so chaotic
so, don't blister to others

'coz we never know which one is better?
maybe, we tasted bitter
and never looked into mirror

simply,
our heart is chaotic
just be QUIET and look into mirror
before you started to blister others, like thunder

chaotic regards, _Kf_

ps. please, put yourself on other shoes!

Tuesday, April 20, 2010

Capek, deh!

Gosh. Damn. Shit. ( Astaghfirullaaah, sabaaar Kii)
Saya capek dan penat dengan 'benang ruwet' ini. Mekanisme yang 'mematikan' dan tidak efektif. Sistem (top-down) sangat mengungkung dan membatasi ruang gerak, bahkan membuat saya 'mati gaya'. Tapi apalah daya, saya tidak bisa berkutik. Yang mempunyai kekuasaan, yang berwenang memutuskan. "Tapi saya juga terlibat,"saya memrotes dalam hati. "Saya yang mengawal prosesnya. Saya juga yang menjalin hubungan baik dengan mereka. Jadi, saya lebih tahu detailnya. " Lebih lanjut hanya bisa menggaungkan ini dalam otak, hati, serta tulisan ini.

Kalau begini terus, saya agak pesimis dengan ambisi besar yang selalu digembar-gemborkan. Toh, apalah gunanya gembar-gembor, kalau kita tidak menyadari kesalahan dalam diri kita. Kadang, saya merasa ingin merombak sistem yang ada. Bersama yang lain, saya mencoba menyuarakan ini. Tapi saya belum mempunyai cukup kekuatan untuk merenovasi benteng sistem yang ada. Benteng ini terlalu besar untuk dirombak. Celakanya, saya juga menjadi elemen penyokong ('cakar ayam') struktur benteng ini. Terlalu riskan untuk dirobak, namun tidak cukup kuat untuk menghempas tsunami kompetisi kancah 'interlokal'.

Saya tidak mau mencolek hidung tertuduh. Namun, dalam hati, saya menyalahkan satu primus interpares ini. Saya ingin semua ditangani secara cepat, tepat, serius, efektif, teliti, dan memuaskan. Saya mendambakkan kinerja yang profesional, integratif, sinergis, dan kontributif. Seperti yang selalu di-hymne-kan. Tapi, entah mengapa saya melihat prospeknya masih buram, dan berjalan agak tersendat. Indonesia masih belajar bertatih. Padahal negara-negara lain sudah berlari kencang.

Saya kebetulan kemarin bertandang ke kandang Gajah Putih. Di atas kita, tidak jauh. Saya pun melihat, mengalami, kemudian membandingkan. Dan dengan berat hati, saya harus mengakui bahwa kita masih ketinggalan. Jangan pernah meremehkan, teman kita di atas itu. Mereka terlihat profesional, tertata dan 'rapi' dalam bermain. Yang paling saya salut adalah mereka selalu gesit dan memberikan service optimal.

Hari ini pun saya sudah mengerahkan segala daya upaya. Tanggung jawab terhadap amanat yang saya emban sudah saya usahakan berulang kali. Saya sangat menyayangkan dengan sungguh kepalang. Sudah seringkali. Kecewa dan emosi. Dua sifat yang tidak saya sukai-menguasai cuaca hati siang sampai sore ini. Yang membuat saya kecewa sekaligus emosi, adalah hal ini berkaitan dengan kesempatan-yang sangat didamba dan dicari-cari banyak jiwa, apalagi ada tawaran yang menggiurkan. Kedua, citra kinerja institusi akan dipertanyakan lagi.

Untung, panggilan Tuhan menggertak nurani terdalam. Yang paling saya syukuri, Tuhan selalu terbuka untuk mereka yang mendekat dan memerlukan pelukan eratnya. Saya ingin damai dipeluk erat-Nya malam ini. Dahsyat, percikan air kran terasa begitu menyegarkan. Saya kemudian menghadap untuk laporan. Barisan rapat jamaah malam ini begitu menguatkan. Bahwa saya tidak sendiri. Bahwa masih banyak yang harus saya syukuri. Dan sudahlah, jangan ada keluh di hati. Semua harus dihadapi dengan besar hati.

Salam capek (hati) hari ini, _Kf_

** Tulisan di atas sebagian besar dikuasai oleh emosi.

Sunday, April 18, 2010

Minggu, Bengkel Hati, dan yang dirindukan

Kembali pada hari Minggu..

Hari untuk menyendiri dan mempersiapkan segala strategi untuk keesokan hari. Hari untuk introspeksi diri, sebuah proses yang berkelanjutan agar tidak menjadi manusia yang merugi. Saya akan belajar untuk gemar mencatat (lagi) sekarang: mendaftar prioritas, target, dan kewajiban yang harus dipenuhi selama sehari, sebulan, bahkan jangka panjang. Saya sudah lama diajari tentang metode ini. Dahulu saya pernah mempraktikannya. Namun kemudian 'mandeg' karena sudah tidak sempat dan tidak telaten. Kemudian saya teringat bahwa ini juga merupakan latihan : mendisiplinkan diri.


Hari Minggu berjalan dengan tempo melambat. Saya pun masih belum beranjak dari depan laptop ini sejak pagi tadi. Dan baru saya sadari ternyata di luar sana, matahari telah merangkak naik lebih dari sepenggalah dari jarak bumi. Proses di depan laptop ini juga akan saya maknai sebagai proses pencarian diri dan memperkaya horizon pengatahuan-di dunia yang tanpa batas. Setiap penemuan dan persinggahan pada laman-laman dunia maya ini senantiasa membuat saya berdecak, ber-'wow', dan berpikir. Ini adalah kemanfaatan umat yang harus dimanfaatkan secara positif. Saya bersyukur terfasilitas 'keajaiban' ini, sehingga saya harus menjadikannya sebagai kekuatan yang membaikkan, bagi kemajuan dan intelektualitas diri.

Senandung lagu-lagu religi ini setia menemani, dari pagi. Ada getaran yang mendamaikan, yang saya butuhkan sekarang. "Rindu-rindu kalbu memanggil-mangil nama-Mu. Seperti terbang di langit-Mu, tenggelam di lautan cinta-Mu". Lagu itu yang saat ini 'on' dalam playlist Windows Media Players. Saat ini memang saya sedang terkena virus 'rindu'. Rindu akan banyak hal yang tidak mungkin saya sebutkan satu-persatu, karena ada bookmark 'pribadi' yang berhubungan dengan hati. Selain itu ada beberapa kerinduan di hari Minggu ini yang ingin saya share-kan.

Bengkel Hati

Minggu pagi, di rumah, biasanya kami sekeluarga menonton "Bengkel Hati" dan ketika sedang commercial break kami mengganti channel lain, "Curhat Donk". Intinya Minggu pagi, dimulai dengan operasi hati dan intropeksi diri. Acara Bengkel Hati merupakan salah satua acara favorit keluarga. Bahkan Adik berinisiatif mencatat segala indikasi penyakit dan diagnosis, dalam hubungannya dengan penyakit hati dan akhlak yang kita punyai. Selanjutnya, saya, mama, dan adik sering mencatatnya bergantian. Dalam Al-Quran, firman Allah yang mengandung banyak kebenaran telah termaktub bahwa segala penyakit yang kita miliki sebenarnya ada kaitan dengan amalan atau akhlaq yang kita miliki. Itu sudah terbukti.

Dari beberapa catatan yang kami miliki tentang relasi penyakit dengan akhlaq, saya pun mengiyakan-atau sangat mempercayai. Ini dengan catatan bahwa saya tetap yakin bahwa pendekatan saintifik dan akademis tetap memberikan sumbangsih nyata bagi dunia kesehatan. Namun, saya juga percaya bahwa di atas segalanya, kesehatan (lahir dan batin) kita ditentukan oleh Sang Pemberi Obat. Biasanya pendekatan dengan cara 'bengkel hati' ini dilakukan dengan cara. Pertama, mengakui bahwa selama ini kita mempunyai akhlaq sedemikian rupa. Kedua, kita harus memohon ampun, ber-istighfar, dan berdoa memohon kepada Allah bahwa jika penyakit yang kita hadapi memang dikarenakan kesalahan akhlak, maka ampunilah dosa kami, dan sembuhkanlah penyakit kami. Ketiga, memperbaiki akhlaq dan memperbanyak sholat Tahajud.

Saya sendiri pernah mengalami pengalaman berkaitan dengan ini. Suatu saat saya mengalami nyeri lutut. Saya sempat bingung juga mengapa tiba-tiba saya merasa seperti orang tua. Bahkan untuk sujud dan berdiri dari duduk ketika sholat pun terasa sangat nyeri. Terlebih juga ketika naik-turun tangga. Kemudian ketika pulang ke rumah, saya menceritakan ini dan mencoba melihat catatan 'bengkel hati' tersebut. Yang saya dapati kemudian, saya merasa 'tertohok' karena indikasi yang tertulis dalam buku tersebut, diiyakan oleh keluarga. Saya pun menyadari akhalq saya itu. Di situ tertulis bahwa nyeri di lutut --> jika mempunyai keinginan yang kuat, harus segela terrealisir. Istilah dalam bahasa Jawanya, 'sak deq sak nyet'. Keinginan (nafsu) tersebut harus segera diwujudkan. Menyadari hal itu, saya mulai mencoba menahan diri agar tidak terlalu mempunyai banyak keinginan dan berambisi untuk segera mendapatkannya. Tentunya, setelah itu saya beristighfar dan memohon ampun. Alhamdulillah sampai saat ini semoga nyeri itu menghilang selamanya.

Minggu pagi yang saya rindukan kemudian adalah sarapan bersama keluarga di luar. Yang spesial juga di hari Minggu adalah kami biasanya sarapan pagi di warung nasi pecel langganan keluarga. Cita rasa pecel khas Blitar yang saya 'menggigit' dan mantaph. Ditambah teh anget manis yang melegakan dan menghangatkan tenggorokan kami. Kemudian sesampainya di rumah, meminum susu kedelai hangat langganan kami juga.

Adikku, Da'i-Ku

Itu pula yang saya rindukan di hari Minggu ini. Cerita tentang ini akan saya tulis di posting selanjutnya. Semoga adik saya tidak dibuat ge-er karenanya.

Salam bengkel hati, salam Minggu penuh berkah, -KF-

Thursday, April 15, 2010

uncertainty

In the middle of finishing my take home exam, I am feeling sad and uncertain about various things in my life. Here are some questions that popped up on my brain right now..
1) Graduate soon, or experience more study abroad
2) Skripsweet, when to start, when will finish, what is the topic?
3) My GPA, this is my last semester of taking courses, maybe. So, I want to get my best! Can I?
4) My age, concerned about life planning after graduating,
5) Achieving my master degree abroad or working to make more money
6) What is my ideal job? Values, interest, money, .. longterm security
7) Personal life : marriage, settled with family, taking care of family: children and husband
8) Living nearby my parents or taking my parents live near by me
9) so on, and so on

Then, I started thingking that the list above are ALL 'BOUT MYSELF. Does that means that I am too egoistic. Then I come to my 'klise' question: When I stop to think about myself// When I come to the point that I am enough with myself// Is that possible?

Uncertain regards, -KF-

Monday, April 12, 2010

Limit Diri

Keterbatasan diri.

Kesadaran akan keterbatasan diri sering membuatku memahami bahwa tidak ada ruang bagi manusia untuk bisa menyombongkan diri. Keterbatasan diri selalu menjadi alarm bagiku untuk kembali. Dalam keterbatasan diri itulah, aku justru merasakan adanya dorongan berdaya kuantum yang membuatku semakin kuat melangkah. Semakin yakin dan mantap menatap ketetapan-Nya.


Best regards, -KF-

Tuesday, April 6, 2010

Please God

Please God, make me
fall in LOVE
with KNOWLEDGEs and WISDOMs
and, more
more
and more

with ..... Y o U

Regards -KF-