Tuesday, August 30, 2011

Turbulensi Kalbu

Refleksi di Penghujung Ramadhan
Bismillaah. Saya mencoba menulis ini dengan hati yang damai. Setidaknya mencoba berdamai dan mendamaikan hati sendiri. Dan memperbanyak istighfar terbukti sangat membantu. Ramadhan ini adalah perjuangan dan pergulatan bagi iman dan batin saya. Setidaknya itu yang saya rasakan, dan saya selalu berdoa semoga menjadi hamba Allah yang beruntung, yang selalu lebih baik lagi, baik dari segi pengembangan karakter, intelektual, sosial, maupun spiritual. Aamiin.

Ada beberapa krisis diri yang berhasil terdeteksi, tidak hanya oleh anggota keluarga, tetapi oleh teman dekat. Awalnya mungkin hal tersebut saya anggap sebagai suatu kewajaran, pembiasaan yang berulang, dan bagian dari ciri khas. Tetapi saya menyadari, ternyata ada yang tidak beres dengan saya. Haha. Ketika di rumah saya biasanya berkelakar, “Mungkin ada sambungan kabel saya yang masih terputus, atau tertinggal di mana”. Maka, saya sangat berterima kasih kepada yang telah mengingatkan akan hal penting tersebut. You know me so well, lah.

Dunia adalah panggung sandiwara, begitu kata lagu. Yups memang, namun bagi saya, kehidupan bukan hanya sekedar permainan. Walaupun kita sering bermain di situ, memainkan lakon dalam pentas kehidupan. Menjadi aktor dengan berbagai ciri khas dan karakternya. Namun, bagi saya, itu semua bukan hanya permainan. Kehidupan merupakan hubungan kausalitas antara proses dan hasil. Kehidupan juga mempunyai detak dan nafas yang selalu menggerakkan kita ke arah depan, bukan ke belakang. Artinya, kehidupan berorientasi ke depan. Terus bergerak dan menatap ke depan. Bukan berarti masa lalu dan saat ini tidak diperhitungkan. Justru keduanya adalah pijakan supaya kita bisa lebih bijak sekaligus realistis menghadapi masa depan. Detak dan nafas adalah elemen kehidupan yang menjadi energi yang harus diisi oleh iman, semangat, dan harapan.

Walaupun kita adalah aktor dan sering ‘bermain’, namun kehidupan bukanlah permainan karena ada pertanggungjawaban nantinya. Kita harus bertanggung jawab atas apa yang telah kita lakukan dan ucapkan. Entah, akhir-akhir ini saya teringat ucapan saya beberapa tahun lalu. Memang isolasi kadang dibutuhkan untuk menjadi diri sendiri. Karena tidak semua yang kita dengar, lihat, dan ucap adalah benar. Kadangkala sifatnya justru maya, terbalik, diperbesar. Oleh karenanya, saya belajar untuk tidak bertindak gegabah dan tetap positif. Feeling positive is so powerful, dan baik bagi kesehatan hati kita.

Urusan hati. Wilayah ini sangat rentan. Maka, kenalilah hati dengan baik. Kuatkan hati dengan mengingat Alloh dan hal-hal yang positif. Dalam suatu segmen percakapan dengan Bunda malam lalu, saya bercerita banyak hal. Salah satunya, saya merasa sedih dan kecewa mengapa ada beberapa oknum yang sudah terikat komitmen ataupun dalam tataran profesional bisa terlibat ‘affair’. Saya bertanya heran, dan jawaban Bunda singkat dan enteng. “Ya, karena itu menyangkut hati!” Saya tak bisa menyanggah dan hanya terdiam. Dalam hati, saya membenarkan. Maka, sangat berhati-hatilah menjaga hati.

Tidak ada suatu pertemuan atau kejadian yang sia-sia, jika kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran. Saya pernah mempertanyakan ke semesta, “mengapa saya dipertemukan dengan orang-orang tertentu?” Setiapnya akan meninggalkan beberapa rekam dan jejak yang mengukir rasa yang berbeda. Ada cinta, benci, kagum, kecewa, iri, dan lain sebagainya. Kadang saya berusaha flash-back dan memilih untuk tidak berada di episode itu. Tetapi ternyata saya salah. Justru merekalah yang memberi warna, memperkaya, dan menyadarkan kita akan kehidupan yang terus bergerak tadi. Tuhan mengenalkan mereka ke dalam kehidupan kita tidak lain adalah supaya kita lebih mengenal diri sendiri, supaya kita bisa tersenyum, supaya kita bisa menangis, supaya kita belajar tegas, supaya kita lebih peka, dan supaya kita paham bahwa kita harus memilih. Pada intinya, supaya kita tumbuh dan berkembang.

Urusan memilih. Sulit, karena pada dasarnya kita yang selalu mengingankan yang terbaik belum tahu mana yang terbaik buat kita. Sulit lagi karena ketika memilih kita dihadapkan pada konsekuensi keberpihakan. Keberpihakan berarti memberikan porsi yang berbeda pada pihak yang lain. Dan pada dasarnya setiap orang ingin menjadi yang spesial dan istimewa. Ingin menjadi yang satu dan tidak ada yang dua, apalagi beberapa yang lain. Dalam hal ini, keberpihakan tersebut akan menimbulkan konsekuensi tersendiri. Dan, oleh karenanya saya berpendapat bahwa kita tidak bisa membagi kebahagiaan dengan porsi yang sama bagi semua orang. Karena pada dasarnya ada yang dikorbankan, atau kita sendiri yang berkorban. Atau mungkin tidak bisa dianggap berkorban karena itu adalah pilihan yang sadar.

Pilihan yang sadar adalah hal lain lagi. Sangat sulit untuk memperjuangkan sesuatu yang ingin diperjuangkan tetapi sangat sulit diupayakan, bahkan tidak mungkin karena kita akan mengorbangkan lebih banyak lagi. Menyedihkan, ketika semua fase itu hanya terhenti pada kesimpulan yang ‘wishful thinking’. Lagi, lagi, wishful thinking selalu menjadi topik ketika menjalin suatu hubungan. Ketika dihadapkan pada dilematis hubungan, maka sejak awal Ramadhan saya bersimpuh, supaya Alloh sajalah yang member petunjuk. Semoga istikhoroh itu memberikan jawaban, yang tidak dipaksakan.

Awalnya, saya ketakutan tanpa alasan. Saya bahkan harus diyakinkan oleh beberapa orang terdekat. Keyakinan mereka walaupun saya membenarkan namun seringkali berseberangan dengan nurani. Intinya, saya belum menginginkan adanya perubahan yang signifikan. Kalaupun tidak cukup beralasan, saya sudah berfikir panjang bahwa saat ini bukan waktu yang tepat. Dan semoga dipahami. Saya ingin memohon maaf sebesarnya atas keputusan yang berat ini. Saat-saat ini rasanya saya ingin berlari kencang, menghilang, atau berteriak keras di suatu tempat yang tak berpenghuni. Tapi itu bukan pengalihan yang tepat untuk kehidupan yang berorientasi ke depan.

Ramadhan ini juga membukakan mata saya bahwa saya harus bersyukur, bahwa kerasnya hidup itu ada dan nyata. Dan saya harus kuat menghadapinya. Lain hal lagi yang membuat saya bangga sekaligus sedih adalah I felt that everyone’s leaving soon. They even did already. They are chasing their dreams. They have been so happy and full of glory. But on the other hands, I knew some people struggling so hard to make their living, to chase part of their future dreams also. They feel much pain before they gain something. Yeah. Those peeps taught me a lot. Thank you.

Akhirnya, di penghujung Ramadhan ini saya meminta maaf sebesar-besarnya atas semua persinggungan dan kesalahan yang tidak berkenan di hati. Semoga kita bertemu, dalam kehangatan dan ketulusan hati, bertemu juga Ramadhan tahun depan yang lebih berkah.

Semoga kita bersama-sama meraih kemenangan di hari yang fitri ini. Aaamin.
Dengan segala kerendahan hati,
Kiki Fauzia

3 comments:

KITE RUNNER said...

kikikikikkkk,keep spirit yah.. kalo sedih inget chaiya chaiya bareng diriku yah..he.

hari putranto said...

"I felt that everyone’s leaving soon. They even did already."

ini line yang sangat catchy dan luar biasa. i really like it. :D

apa kabar ki? maaf lahir batin ya. :)

Wiwien said...

kiki sayaang,,maaf lahir batin yaa, smga sukses dan berkah selalu dalam menjalani kehidupan ;)