Monday, April 25, 2011

About Love

image from here


What I posted on the previous entry titled "Abstract Entry" abstractly described my feeling at that time. I just implicitly said that I suffered yet enjoyed at the same time the joy to be drugged on abstract feeling, called "love". Since I felt abstract and consciously thought that it will last only temporary, so I deprived the feeling. So, I lied to myself about what's going on. But then I listened to the song whose lyric told me that "Love will never lie". So I nodded, and understood I can lie others but I can't lie myself. But the substantial question is not about falling in love or love itself, but how far it will go? Or in popular verses, (Mau dibawa ke mana....). Haha.. That question will take me further to other variants which involved consequence, responsibility, and principle.

Love is indeed beautiful feeling when we can be so ecstatic, energetic, and euphoric about something or someone. Then, I found such a nice poem from Rumi on Love. "Wherever you are, whatever you do, be in love". Yeah, Rumi is such a great Lover, in different degree of love. He really captivated me with the noble yet majestic love that can't be argued. Yeah, I am now falling in love with the poetry about Love by Rumi.

It's only intermezzo in the middle of reading journals for my thesis. Yeah, yesterday my Mom reminded me about the essence of priority, and showed me a gateway to move forward to another life journey, which should be started by finishing my thesis. Thanks Mom. Anyway today is her birthday. I sent her message last night and she answered back with such a great prayer to her children. Thank you for your endless love, support and prayers, Mom! I guess it is also another sample of genuine love that will never lie.

Please enjoy Rumi's poems :

    This World Which Is Made of Our Love for Emptiness

    Praise to the emptiness that blanks out existence. Existence:
    This place made from our love for that emptiness!

    Yet somehow comes emptiness,
    this existence goes.

    Praise to that happening, over and over!
    For years I pulled my own existence out of emptiness.

    Then one swoop, one swing of the arm,
    that work is over.

    Free of who I was, free of presence, free of dangerous fear, hope,
    free of mountainous wanting.

    The here-and-now mountain is a tiny piece of a piece of straw
    blown off into emptiness.

    These words I'm saying so much begin to lose meaning:
    Existence, emptiness, mountain, straw:

    Words and what they try to say swept
    out the window, down the slant of the roof.


    Love is Reckless

Love is reckless; not reason.

Reason seeks a profit.

Love comes on strong,

consuming herself, unabashed.

Yet, in the midst of suffering,

Love proceeds like a millstone,

hard surfaced and straightforward.

Having died of self-interest,

she risks everything and asks for nothing.

Love gambles away every gift God bestows.

Without cause God gave us Being;

without cause, give it back again.


Thanks Rumi, your poem is such a medicine for my reckless love. Thank you, I feel enlightened :)

Wednesday, April 13, 2011

Abstract Entry

gambar dari sini

"Terkadang, 'rasa' datang tanpa butuh alasan. Dan seringkali rindu menghampiri, tanpa permisi." (KF, 2011)

My Recent Feeling

Arghh, perasaan saya sedang abstrak. Sulit untuk diungkapkan, hanya saya sendiri yang menikmati. Rahasia kedalaman hati yang tidak ingin saya bagi, secara gamblang. Hati sedang melankolis, tapi logika pikir mengatakan, " Ini hanya temporary!" Sindrom yang wajar, dialami banyak orang. Tapi, harus dikendalikan dan diarahkan ke sisi-sisi yang lebih positif. Walaupun, banyak jalan yang bersimpangan, tidak paralel ke satu tujuan, namun banyak kebijakan dan ketenangan yang saya gali dan pelajari.

Terima kasih telah memberikan sepihak rasa untuk kekayaan jiwa. Biarkanlah waktu yang menuntun secara sabar untuk menemukan alurnya. Apakah nanti, menyublim atau tersedimentasi. (?)

This is truly abstract. Thank you for reading.

Kindest regards,

Kiki Fauzia

Monday, April 11, 2011

Orang Tua Ketika Senja

Credit picture : here

Seperti pada tulisan-tulisan sebelumnya, pulang selalu mengilhami. Untuk itulah, sebisa mungkin saya selalu pulang ketika kondisi mengizinkan. Selagi belum sekolah jauh atau terikat kontrak kerja yang memberatkan. Itu yang dipesankan orang tua. Kesempatan pulang selalu saya manfaatkan untuk bermanja dengan waktu luang dan kasih sayang. Dua hal berharga yang mahal dibeli di zaman sekarang ini. Rumah dan orang tua adalah dua kerinduan yang membumikan langkah saya, yang jarang merunduk ramah pada asal, tanah, dan sejarah. Padahal, dimana pun kita membumbung tinggi, jiwa kita harus santun memijak pada bumi ketulusan yang mengikat kita secara biologi dan nurani.

Seusai acara di Surabaya minggu lalu, saya menyempatkan pulang. Sudah beberapa bulan saya tidak pulang karena harus menyelesaikan kewajiban. Oleh karenanya, Minggu lalu saya pulang dengan membawa segudang cerita dan senyuman. Saya senang bisa pulang dan mengganggu bulan madu orang tua saya. Maklum mereka berdua saja di rumah, menikmati hari dari ujung ke ujung waktu lain. Berdua saja, tanpa anak yang meramaikan rutinitas harian mereka. Itulah yang membuat saya sedih ketika harus pamit kembali ke Jogja. Mereka pasti akan 'merajuk', rumah kembali sepi. Namun itulah konsekuensi ketika mempunyai dua ananda yang menuntut ilmu di tempat jauh . Di sisi lain saya bangga dan berterima kasih kepada mereka yang percaya dan bijaksana, mengizinkan anaknya kemana pun hendak belajar dan mengejar impian.

Di suatu senja sore, minggu lalu. Saya dan bapak duduk bersama di ruang makan. Kami berbincang ringan tentang berbagai hal. Waktu itu saya menceritakan tentang Mbak Minah, gadis belia ceria nan cekatan yang selama ini membantu ibu kos mengurus pekerjaan rumah tangga. Minggu lalu dia pulang ke kampungnya di Wonosobo, mengemas seluruh pakaiannya, dan tak ujung kembali ke kos sampai saat ini. Entah, sampai saat ini kami hanya bisa menduga-duga alasan kepergiannya.

Di akhir cerita, tiba-tiba Bapak berkomentar, "Nduk, nanti mama bapak perlu pembantu ga?". Saya kaget mendengar reaksi Bapak. Belum sempat saya tanyakan lebih lanjut, Bapak berujar, "Ya, kalau sekarang Bapak dan Mama masih sehat dan kuat, masih mampu mengurus dan membersihkan rumah. Tapi suatu saat nanti, pasti kami tidak sanggup mengerjakan semua sendiri, menyapu rumah, menyuci baju, menyetrika, dan lain-lainnya. Sehingga butuh bantuan orang lain" Saya berkaca-kaca dan terharu mendengarnya. Selama ini keluarga kecil kami memang terbiasa mandiri. Segala pekerjaan rumah tangga diselesaikan bersama-sama, dengan kesadaran diri dan rasa saling memiliki. Dan saya sepakat, pasti suatu saat nanti ketika usia beranjak naik, semua pasti akan berbeda.

Percakapan sore itu menyentil saya untuk meninjau kembali rancangan masa depan. Sudahkah kita menempatkan (atau paling tidak, memikirkan) orang tua dalam rancangan masa depan kita. Sudah cukup egois kah kita dalam bermimpi? Di manakah orang tua kita di mimpi yang kita bangun? Pernahkah kamu menanyakan mimpi orang tua di masa depan? Padahal, saya yakin, pasti di mimpi mereka selalu ada dirimu di sana. Anak-anak mereka sebagai tokoh utama.

Orang tua yang hebat dan bijak tidak pernah memaksakan cita-cita kepada anaknya. Mereka akan selalu mendukung apapun pilihan dan mimpi kita, dan juga menerima kita apa adanya, pun dalam titik nadhir kehidupan. Tidak ada yang mereka minta, selain selalu memberi, tulus doa terbaik untuk anaknya. Oleh karenanya jangan pernah kecewakan mereka. Bakti dan santun cinta kita untuk mereka merupakan bukti nyata kasih sayang yang tiada tara.

Salam memperbaiki diri,

Kiki Fauzia

Thursday, April 7, 2011

The Flash of 'Mocha Coffee-Milk' Tale

credit picture here

Before Getting Involved, Know Yourself First and then, Break Your Limits!

I committed to jump in ‘Candradimuka crater’ once again, in a different place with a different motivation and circumstances. But it really recalled my old memory, three years ago when I heated up on this kind of battlefield. The differences, I was almost three years older now and there were some technical yet unessential distinctions to note. Instead of all I experienced and learned, I felt overwhelm, blank and rich at the same time. Blank and weightless were just like ‘de ja vu’, an exact feeling as I finished the last personal-interview section three years ago. Rich was due to all insights, mind-recharging, inspirations, and friendship I got during the two days quarantine. But then, these two feelings exhausted me for a while until I consciously opened my eyes on the next day. Then, I felt grateful and decided to give a huge smile because the sun still intently warmed my skin and my heart. I still smiled because I had nothing to hide; nothing to complain, and wouldn’t grumble on the back. And they were wrong if think so.

I heard quite often a wise word,
‘experience is the best teacher’. On this case, not for me, I really had no idea what ‘the teacher’ already taught me. Yeah, that’s a fool of me. The worst part is I couldn’t mention at least one of benefits I gained from my previous experience. In fact, it’s plenty after I reflected again lately. And I think it’s really pathetic that I couldn’t come up with such a sincere yet solemn answer. I didn’t know why, but I knew the problem is on me, and attached on my limits need to be founded, my self-identity, and my persona. After all, I still question myself, “DO I NEED TO CHANGE? In what extent?” And I actually got some answers. Therefore, the decision needs to be made. Just like what Mba’ Atri said to me “it’s all up to you whether you want to apply the other colors or not, whether you want to use what you have already absorbed or not,”

Processing the Metamorphose

I started the struggle with a high hope to win the battle and strengthen my wings. I began a day before D-day with such a disappointed and bad feeling. First, it’s out of our control when the weather turned dark and ‘angry’. Second, we already did our best and anticipated the lateness by saving a couple hours on ‘our pocket’, but then man only made a plan, and the rest depended on X factors, including others and stuffs. Finally, God is the only One who disposed. Third, I couldn’t accept any unrealistic reasons and consequences to teach others about the meaning of punctuality. Then, I concluded that it would be such kind of militaristic way to discipline people. What I agreed then is that we couldn’t blame and scapegoat-ing others from our own-mistake. So, a mature people would be fully responsible of what they have done. And at the end, I appreciated the win-win solution offered by the committee.

At first, I felt calm and excited to experience what is like to be on the quarantine. There were three things that made me glad and never regret: First, I invented new friendship and new family in my home-province. It’s always delightful to made new friends who can enrich our horizon and life itself. I felt very affluent when looked upon them, both the participants and the committee. It’s like seeing mirror and rainbow. I liked mirror-ing myself when I saw the reflections of me from their role and character. And, I was surprised yet proud when they showed me the beauty of ‘rainbow’. And once again, it enriched me and effortlessly opened my eyes to the power of process itself.

Second, it’s a worth-chance to know my beloved province, East Java, better. Since I am almost four years studying in Yogyakarya, below my self-consciousness, I have often admitted that my knowledge and understanding about Jogja is much better than my own-province, including the people and the place. But, don’t ever doubt on my pride and my sense of belonging to East-Java. No need to question on those. East Java is very unique and distinctive. Despite the geographical and cultural mixture, it ranges widely from west to east, from north coastal to south coastal, from the land to the sea, and others. The dialect and daily conversation is also different from one region to another.

My small-observation met the answer when I saw, listened, and interacted with the 24 youth potential. I enjoyed a lot when we talked and joke around with Boso Jowo. In my daily basis, either in Blitar or Jogja, I used to speak kromo with my parents, and also elder people. But in my peer environment, I accustomed to speaking Bahasa Indonesia to make other friends who mostly came from another background and culture understands the idea of or conversation. In Surabaya on the last three days, I really enjoyed the privilege of speaking with my mother-tongue language, Boso Jowo. And it’s interesting to identify the use of different particles in conversation, such as …ta? Rek,

After all, some committee judged me that I am more Jogjanese than East Javanese or Blitarnese? What a surprised! I myself hadn’t asked the reasons yet. I assumed one of their pre-assumptions was on the matter of straightforwardness, and also in line with my nature. But it happened quite a lot thou when many friends often thought that I am originally from Jogja or Solo or Central Java. And only a few believed that I am from East Java. Is this a part of people justification and stereotype towards others? So, please mind your thought!

Before I started mumbling around, I would conclude the last thing that made me glad during the process. It is the breeze of competition. Lately, I have been hectic inside my own-shell which is my environment and my activities, such as my undergraduate –thesis and heap of works in the office. These two things grabbed most my attention and time until I forgot to update the news and upgrade myself. It’s my comfort zone that satisfies my recent-priority and future target. So, what wrong? I guess, the reason is when we feel enough and satisfied, we easily forget that we need to perpetually improve ourselves, and look beyond our shell to find out what’s more than ‘meet on the eyes.’

The competition made me aware that my I had to keep progressing and processing my self. It’s not only about my accomplishment and satisfaction I reached, but what we have given and what we have contributed, for the sake of betterment not only for me, but also my surrounding. Creating a small step to generate the massive awareness is also essential to advance the nation.

‘Diaspora is only an ice-berg’

From the moment on, I won’t forget the relation between DIASPORA and DISPORA. It made me realize that I really need a brain supplement and an outrageous therapy. That’s really true^^. And too bad, I just realized it. On my turn of sudden speech, I had twice chances to pick the topic. My first pick is Joko Tingkir. Oh Gosh, I was not really sure what the legend is about. My brain kept telling me about Rara Anteng and Joko Seger which I knew was the absolute wrong. So, with Bismillah I picked another one. And tarrraaa, I got DIASPORA. Ohhhh damn! It sounded very familiar, but I totally blank, forgot, and ‘messed up’ as if my brain cells ruined my memory and logical thinking. So the result, I stiffed powerlessly and spoke in a silent voice. At that time, I felt like flying after consuming drugs until I finished answering series questions related to the topic.

I disappointed myself, because two things. First I lost my voice on the sudden speech matters. I am late to realize that it's not only about the topic but how we should formulate a speech in certain time with our creativity, spontaneous yet fast-thinking and just be confident to keep talking. Second, I embarrassed many labels tagged in me, especially the department and university I belong to. I should have become an expert of this topic but the fact is the contrary. So, the outrageous therapy needs to be made at the earliest convenience. The DIASPORA precedent is only an ice-berg phenomenon about finding my limitations. And I couldn't agree more with Mas Yesaya who said that we should have in-depth understanding towards the knowledge or issues, as a whole, not only from its skin.

The continuous lesson learned filled in each session. For me, it's not only about liberating myself from my comfort zone, but also about honestly finding and admitting my limits. Hence, I should learn as follows: to think and learn fast, focus on what in front of us, rehearse to memorizing the others name properly, learn history and culture of Indonesia and East Java, and be brave and confident of our capacity. Because after we have discovered the limits, we would be able to take a small step to cross our boundaries. It's indeed not comfortable at first. But then, we would realize how an exceptional experience we passed through.

New Family Made

These two days in quarantine meant a lot to me. The time went slowly but turned out productively and unforgettably. We shared many moments together, from ‘yell-yell’, talent show, city exploration, group dynamic, and many other moments to remember. From the cheerful encouragement until the heart-sport of high tense session, that bonded us as one family, in the name of hope and dream. I was so proud and glad to be one of them. They are mostly younger than me, but who knows that they are more passionate, enthusiastic, braver, and have potential inner-self and talent that will grow and glow brightly in the future.

After all, I would like to extend my sincere gratitude and big 'standing-applause' to the whole committee who succeed to spread a positive spirit to us. Each of them has inspired me in various possible ways that at the end, will lead me to follow my dreams. And for all the readers, please keep in mind that before getting involved, know yourself first, then, break your limits to discover a brand-new you who are awesome and unbeatable!

Keep positive and keep smiling :)

Best regards,


Kiki Fauzia



Thursday, March 10, 2011

His Mysterious Gift

gambar dari sini


Suatu waktu saya merasa gelisah. Bukan karena hati saya tidak tenang, tapi saya merasa kurang 'sreg' harus mengeluarkan tabungan demi memenuhi hasrat bersenang-senang. Rasanya sangat disayangkan uang tabungan hanya digunakan untuk perkara tersier. Padahal tabungan akan jauh lebih bermanfaat jika digunakan untuk perkara yang lebih prioritas dan jangka panjang. Namun harus bagaimana lagi, saya sudah merencanakan dan 'menggodok' rencana perjalanan tersebut lumayan lama. Jadi, apapun konsekuensinya, termasuk masalah uang, harus saya tanggung.

Itulah latar belakang kejadian sebelum keajaiban dari Allah itu benar-benar nyata.

Dua hari sebelum hari keberangkatan saya. Saya dimintai tolong teman, sebut saja D, untuk menggantikan tugas notulis teman yang tiba-tiba tidak bisa hadir. Saya menyanggupi karena toh apa salahnya membantu teman seperjuangan. Apalagi selama ini dia telah banyak membantu, selain karena kita juga terikat dalam satu institusi yang sama. Jadi kesuksesan acara ini akan menjadi cerita bahagia bagi semua pihak yang terlibat. Sebenarnya alasan lain kenapa saya membantu adalah saya merasa tidak 'enak' karena akan izin dari tanggung jawab rutin saya selama seminggu. Jadi, saya harus memaksimalkan apa yang bisa saya kerjakakan selagi masih ada di Yogyakarta.

Hari itu, saya sudah standby di venue beberapa menit sebelum acara dimulai. Saya tiba di hotel dan ter-'wow'-kan dengan acara bertajuk 'internasional' dengan atmosfer yang multikultur. Saya memenuhi tugas menjadi notulis selama satu sesi presentasi. Namun karena notulis yang lain berhalangan maka saya melanjutkan menjadi notulis selama dua sesi berikutnya, sekalian meringankan beban teman saya yang tidak punya partner notulis.

Kejutan itu datang pada akhir sesi ketika si ketua acara tiba-tiba menghampiri, menanyakan nama lengkap saya dan menginstruksikan menulisnya di sebuah kertas. Beliau sambil berpesan untuk bertemu di lobi setelah acara. Memenuhi permintaannya, saya didampingi teman saya-yang mengoordinir acara sejak awal, bersiap di lobi. Kemudian datanglah dua panitia dari salah satu Kementerian ini. Ternyata, hanya saya yang disodori kuitansi dan disuruh menandatanginya. Sedangkan, teman saya belum mendapat karena dia masih akan bergabung dalam acara sampai tiga hari ke depan.

Ketika menandatangani kuitansi tersebut, saya senang dan kaget secara bersamaan. Rasanya saya tidak percaya mendapat bonus sebesar tiga kali gaji di kantor hanya dengan duduk dan menjadi notulis selama satu hari. Saya pun jujur kepada teman saya dan menanyakan apakah tidak salah besaran nominal yang saya terima. Setelah ditanyakan berkali-kali kepada panitia, ternyata memang sebesar itulah hak saya. Saya lega sekaligus 'tidak enak' hati kepada teman saya yang belum mendapatkan hak-nya tersebut.

Satu hal yang saya lakukan setelah itu. Saya bersyujud syukur dan berterimakasih kepada Allah. Subhanallah, cara Allah untuk memberi 'uang saku' sungguh tak pernah saya duga. Pelajaran yang saya dapatkan pada hari itu : Sesungguhnya Allah Mahakaya, dan Maha Pemurah. Jadi, jangan pernah ragu akan kebesaran-Nya itu. He works with His mysterious way. Dan saya sangat yakin bahwa Allah akan memberi rezeki dan jalan keluar dari arah yang tidak disangka-sangkakan bagi mereka yang beriman dan meyakininya.

Alhamdulillah. Terimakasih ya Allah.

Tuesday, March 1, 2011

Bagi-bagi "My 1st Award"


Maisya Farhati. Nama yang indah. Dalam keseharian sering dipanggil Icha. Karena saya lebih muda (ehmm), jadi saya menambahi atribut, Mbak (padahal harusnya Teh, kan Mbak?). Pertama kali mengenal Mbak Icha adalah di kantor. Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya jangan terpedaya. Haha.. Sejak awal, saya merasa Mbak Icha merupakan sosok yang nyaman untuk bersama, dewasa, dan pandai menempatkan diri. Kemudian, semakin mengenalnya, saya semakin terpukau dengan intelegensi dan 'kreativitas'-nya dalam berkata-kata. Komentarnya seringkali sangat tajam, bahkan terasa 'bengis' (not in the real meaning). Haha, walaupun begitu, itulah sense of humor tingkat tinggi yang dia miliki. Karena komen-komen spontannya itu, kadang kita menjuluki dia sebagai "Hostility Officer" (plesetan dari "Hospitality Officer", salah satu jabatan di kantor)

Mbak Icha sangat gemar menulis. Konon dia mulai menulis sejak usia sangat dini, di buku diarinya. How cute. Tulisan di blognya sangat renyah, ringan, mengalir, dan menginspirasi. Selain menulis dan membaca, mbak Icha adalah tergolong orang yang sangat menikmati hidup. Hobi travelling (luar dan dalam negeri), wisata alam, dan kuliner. Teman yang care dan bisa diandalkan. Untuk mengenalnya lebih jauh, dan agar bisa menikmati tulisannya, please feel free to visit her blog at : http://nulisaja.multiply.com/

Suatu malam, saya mendapat message di Facebook dari Mbak Icha berisi pemberitahuan bahwa saya mendapat award, dan disuruh menjemput di blognya. Namanya: "Stylish Award". No matter what it does mean, for me, it was such a big surprise. Inilah award pertama yang saya dapatkan. Sebelumnya, saya seringkali membaca blog orang yang saling memberi award. Sebagai blogger pemula, saya kurang paham dan merasa belum pantas. Hehe. Jadi untuk award pertama ini, saya ingin mengucapkan hatur nuhun sangat buat mbak Icha. Terlebih lagi, she described me with such kind words. I was blushed.

Terimakasih utukMbak Icha telah mengapresiasi blog saya. Award ini akan saya jadikan sebagai motivator untuk menulis yang lebih bermanfaat dan bermutu. Saya punya peer setelah mendapat award ini diantaranya :

1. Thank and link to the person who awarded me this award.
2. Share 8 things about myself
3. Pay it forward to 8 bloggers that i have recently discovered.


Okay, I did the first one, then I will continue to the next one :
Delapan hal mengenai diri saya :
  1. Nama lengkap saya Rizki Nur Fauzia. Kurang lebih artinya, Rezeki Cahaya Kebahagiaan. Amieen. Doa itulah yang diharapkan orang tua saya waktu saya lahir. Sejak kecil saya dipanggil Kiki, baik di rumah maupun di lingkungan pergaulan. Jadi saya lebih populer dengan nama Kiki Fauzia. Tahukah saudara-saudara : Saya nyaris punya nama lain, bukan Rizki Nur Fauzia, tapi Rizka Faza Syahara. Does it sounds more cool and sophisticated? I loved the second one. Haha. Saya tahu itu ketika membaca jurnal dan klipping milik mama. Kemudian beliau bercerita kalo itu nama kreasi Mama, dan bapak saya tidak setuju dengan nama yang agak neko-neko. Bapak juga berfikir kalo nama Rizki Nur Fauzia lebih punya makna^^
  2. Waktu kecil, saya sangat aktif. Sekitar usia lima tahun-an, saya pernah mencukur rambut saya sendiri dengan gunting, sampai hampir habis dan petal. Saya juga sangat sering jatuh dari kasur (nggelinding) ketika tidur. Bahkan orang tua saya sering kesulitan mencari saya ketika bangun tidur, dan ternyata sudah terkapar di kolong ataupun bawah kasur. Selain itu, pelipis alis kanan saya pernah dijahit karena jatuh dari jendela. Sampai sekarang bekas itu masih ada, walaupun sangat kecil.
  3. Sejak SMP, saya tergolong gadis yang gila bola. Saya adalah seorang Juventini sejati. Pemain bola idola saya yang pertama adalah: Filippo Inzaghi. Waktu itu dia bermain untuk Juventus. Sampai sekarang saya shocked sendiri dan ga tahu kenapa waktu itu saya ngefans dengan striker peyot dan suka diving itu. (Upps, sorry Man). Saya (dan adik) berlangganan Tabloid 'Bola'. Hapal seluk beluk bola dan begadang malam demi melihat pertandingan bola, terutama ketika Juventus tanding. Sementara untuk negara, saya cinta mati dengan Perancis. Kesukaan bola tersebut lambat laun berkurang, dan sekarang saya biasa saja dengan bola, kecuali ketika Piala Dunia, atau ketika timnas tanding. Mungkin, karena ikut-ikutan euforia.
  4. Saya suka berpetualang di alam, jalan kaki, naik turun gunung. Sehingga pada dasarnya, saya cewek yang kuat. ^^ Saya suka dan lihai panjat memanjat. Bahkan, memanjat genting, gunung, dan lainnya yang melibatkan otot kaki. Saya terlatih dengan hal tersebut karena waktu exchange di Amerika, saya dilatih untuk kuat di pelajaran olahraga. Setiap lari, diharuskan sebanyak 8 kali putaran mengelilingi lapagan football Amerika. Saya juga mengambil pelajaran Rock Climbing, dan sangat menikmatinya. Saya mendapat nilai A dan dikenal jago dibanding teman2 cewek lain di kelas. Hobi saya jalan juga dikarena Bapak angkat saya di Amerika yang sangat bijak, suka mengajak saya jalan di taman dan hutan setiap akhir pekan. Juga, sejak kecil saya adalah gadis pramuka yang aktif berkemah dan berpetualang.
  5. Saya adalah juara baca puisi kawakan di tingkat Kota Blitar. Haha. (Ga sombong loh). Sejak SD sampai SMA saya sering ikut lomba puisi di tingkat kota dan provinsi. Prestasi terbaik saya adalah Penyaji Terbaik Pertama Tingkat Jawa Timur pada Pekan Seni Pelajar Jawa Timur di Banyuwangi. Mama adalah pelatih terbaik saya selama ini. Berkat puisi, saya gratis jalan-jalan ke luar kota, karena ikut Porseni di kota-kota di Jawa Timur, seperti Sidoarjo, Gresik, Madiun, dan Banyuwangi. Adik saya juga sama. Kami sama-sama juara puisi. Ketika Pekan Seni di Banyuwangi, adik saya juga juara tapi tingkat SD. Adik saya bahkan pernah ke Kalimantan Timur untuk Pospenas, puitisasi Al-Quran tingkat nasional.
  6. Saya dibesarkan di keluarga yang religius, moderat, dan demokratis. Keluarga besar kami berasal dari kalangan agamis. Hal tersebut mempunyai pengaruh besar pada penampilan dan kepribadian saya. Ibu saya adalah guru Agama Islam di SMP. Sedangkan Bapak adalah guru Bahasa Indonesia di SMA. Tapi dalam kehidupan sehari-hari, peran di rumah tangga sebagian besar berkebalikan. Bapak, imam di surau yang juga imam rumah tangga yang sederhana dan tidak neko-neko. Sedangkan Mama, adalah ibu yang gaul, asyik, problem-solving, bisa menempatkan diri, dan tahu porsi. Mereka berdua saling melengkapi. Sementara, kadang saya merasa adik saya jauh lebih dewasa, pengetahuan agamanya lebih luas, dan sering mengingatkan saya.
  7. Waktu saya SMA, saya punya cita-cita nikah usia muda. Tapi seiring berjalannya waktu, saya merasa belum siap, dan perlu mempelajari ilmunya dulu. Sehingga saat ini prefer untuk nikah di saat usia yang tepat. Kapan tepat itu? Hehe, tentunya ketika mendapat pendamping yang tepat, dan lebih cepat lebih baik. Lohh (hehe). Saya berdoa supaya calon suami saya nantinya bisa menjadi Imam saya dalam segala hal. Oleh karenanya, semoga agamanya kuat dan takut Tuhan. Selanjutnya, semoga orangnya supportive terhadap pilihan dan aktivitas saya. Selebihnya, tentunya kita harus bisa menyelaraskan visi keluarga ke depannya. Nanti (insyaAllah) saya pengen punya anak sekitar 3-5. Supaya di rumah nanti tidak terlalu sepi. Hehe.
  8. Yang terakhir, saya ingin sekali menjadi orang yang lebih efektif dan asertif. Alasannya apa? Mungkin saya merasa kurang dalam hal tersebut. Doakna ya bloggers semoga saya lebih terlatih untuk menjadi lebih baik lagi, efektif dan asertif.
Selanjutnya, saya ingin mempersembahkan awards ini untuk kedelapan teman blogger saya. Mereka luar biasa and unique on their own. Blog mereka mempunyai cerita bervariasi yang selalu menginspirasi dan menyegarkan hari saya. Here they are :
  1. Wiwien Apriliani
  2. Moh. Rosyid Jazuli
  3. Retno Widyastuti
  4. Wiwit Prasetyono
  5. Bernando J Sujibto
  6. M. Nurul Ikhsan
  7. Cindy Yoliva
  8. Primahasmi Dalulia
Selamat buat kedelapan teman saya. Semoga Allah menjaga ikatan persaudaraan kita. Selamat berjuang di jalan masing-masing.

Salam manis,



Friday, February 18, 2011

Hari Lahir


Halo hidup, terima kasih cinta,

Apa yang spesial di tanggal 17 Februari 2011? Nampaknya biasa saja, aku masih bernafas, bahagia, tertawa, bersedih, dan kecewa. Kecuali banyak sekali yang memberiku perhatian. Terimakasih Tuhan telah mempercayakan nyawa hidup untuk kunikmati dan akan kupertanggungjawabkan nantinya. Lebih dari dua puluh tahun yang lalu, atas izin Allah aku terlahir di bumi, dititipkan melalui rahim ibuku, atas jasa bapakku.

Di hari lahir ini, aku sangat bersyukur nafas ini masih kuhembuskan, jantung ini masih berdetak, dan oleh karenanya darah ini masih mengaliri pori-pori tubuhku. Dua hari sebelum hari ini, aku mendapat kado manis dari teman Papua New Guinea yang kuliah di Australia, kartu ucapan dan bilum (tas khas PNG). Malam sebelumnya, 16 Februari, aku bersama sekawanan teman kos dan ibu kos menghabiskan waktu bernyanyi, berteriak, berjoget, dan meluapkan segala rasa dalam lagu di Inul Vista. Setelahnya, kami ditraktir ibu kos makan zuppa soup yang lezat. Melewati larut malam aku mendapat sederat ucapan selamat dan doa-doa indah dari teman-teman dari berbagai negara.

Matakupun terpejam dengan perasaan puas dan bahagia. Jam3 malam dini hari di tanggal 17, aku terbangun, kulihat rentetan SMS di HP ku antusias menyelamatiku. Ada perasaan menyesak sedikit di dada. Mengapa? Entah. Mungkin, karena meningat betapa jarangnya aku bersyukur akan nikmat hidup dan hembusan nafas ini. Oleh karenanya, pertama kali yang kulakukan adalah mengambil nafas sedalam-dalam dan sebanyak-banyaknya. Kemudian kurasaan betapa Maha Pemurahnya Allah. Selanjutnya, aku bersyukur melalui sujud-sujud dalam tahajud, hajat, dan taubat-ku. Semoga aku menjadi pribadi yang lebih baik lagi, dalam segala hal. Amieeen :)

Ya Allah, terimakasih atas nikmat tak terkira dalam hidup ini. Aku pasti lemah tanpa kasih sayang-Mu :)

Salam,
Kiki Fauzia