Mengenal Lebih Dekat Kiai Kanjeng
Menyebut nama Kiai Kanjeng, mungkin yang pertama kali terlintas dalam benak kita adalah Cak Nun dan gamelan. Komposisi Cak Nun dan Kiai Kanjeng merupakan sebuah kekuatan yang dipercaya mampu menembus banyak dimensi nilai dan kehidupan yang belum tentu sanggup digapai kelompok-kelompok musik lainnya. Komposisi ini membuat Kiai Kanjeng bukan sekadar kelompok musik. Minimal, itu disebabkan karena Kiai Kanjeng adalah kelompok musik yang bisa digambarkan melalui kerangka plus. Secara sederhana, Kiai Kanjeng merupakan sebuah komunitas atau kelompok dengan misi kebudayaan yang kental mulai berkembang sekitar tahun 1999/2000.
Sejarah awal mula terbentuknya Kiai Kanjeng dimulai ketika Cak Nun melakukan kunjungan ke daerah Imogiri pada tahun 1992-1994 yang sedang dilanda kesusahan akibat penggusuran warga desa atas pembangunan waduk Wediombo. Pemerintahan Presiden Soeharto saat itu yang masih kental dengan unsur otoriter nya membuat segala bentuk protes frontal tidak sebebas saat ini. Oleh karena itu, warga tidak mempunyai kekuatan untuk melawan pemerintah dan terpaksa menerima dana pengganti dari pemerintah yang terbatas. Kondisi para warga yang memprihatinkan kemudian mengerakkan hati Cak Nun untuk sedikit meringankan beban mereka. Pada saat itu, Cak Nun memiliki ide untuk menggelar pertunjukkan drama sebagai perwakilan ungkapan protes, marah, sedih warga Imogiri tersebut kepada pemerintah. Dengan format seni seperti ini, bentuk protes akan dipandang “lunak” oleh pemerintah sehingga tidak menimbulkan konsekuensi yang dapat merugikan masyarakat. Pertunjukan drama dengan iringan musik gamelan tersebut dinamakan dengan sebutan “Pak Kanjeng”.
Gamelan Kiai Kanjeng merupakan sebuah konsep nada pada alat musik “tradisional” gamelan yang dibuat oleh Novi Budianto. Kenapa dikatakan “tradisional”? Karena Novi Budianto disini membuat gamelan yang umumnya berjenis nada pentatonik layaknya alat musik tradisional lainnya, menjadi bernada diatonik atau sesuai dengan nada-nada dasar alat-musik modern. Pelarasan nada ini oleh Novi Budianto pada mulanya dipilih berdasarkan pengalamannya menata musik-puisi Emha Ainun Nadjib sejak berproses bersama di teater Dinasti. Eksistensi “Pak Kanjeng” ternyata tidak terhenti hanya sampai disitu, pertunjukan yang pada awalnya hanya untuk mengiringi drama pertunjukkan Cak Nun di Imogiri tersebut kemudian sering ditampilkan kembali pada kesempatan berbeda pada setiap pengajian Cak Nun.
Keberadaan Pak Kanjeng mendapatkan sambutan yang baik dan meluas di masyarakat dan kegiatan ini merupakan bagian dari pekerjaan sosial Emha Ainun Nadjib langsung di lapangan masyarakat, terutama grassroot dan menengah bawah. Hal ini dikarenakan pertunjukan mereka yang tidak hanya menampilkan musik tetapi juga memasukkan nilai-nilai kerakyatan, kemanusiaan, perdamaian, budaya, keagamaan, spiritual, persaudaraan, social problem solving, pendidikan politik dan sebagainya. Unsur-unsur yang dekat dengan masyarakat inilah yang menjadikan Cak Nun & Kiai Kanjeng (Two in One) yang mempunyai prinsip utama “diperjalankan” ini terus berkembang hingga sekarang. CNKK berpandangan bahwa musik dipergunakan sebagai media atau kendaraan yang memfasilitasi agar pengajian, dialog, diskusi, penyampaian pesan-pesan tadi menjadi tidak membosankan. Sampai saat ini, eksistensi Kiai Kanjeng terus bertahan dan tercatat terdapat kurang lebih 10 orang pemusik, 3 orang vokalis dan beberapa di bagian manajemen berlabel “PROGRESS”.
Dalam setiap pementasan acara, CNKK memiliki tujuan dan selalu berupaya untuk:
1. Selalu mencari dalam sebuah dialog dan forum bersama dengan alasan untuk tetap bergembira dalam keadaan apapun saja;
2. Selalu berusaha memberi hiburan yang sehat bagi hati dan jiwa manusia;
3. Membangun dan mentradisikan kecerdasan masyarakat serta menyebarkan pendidikan politik murni, kesadaran hak-hak dan kewajiban sebagai manusia dan warganegara.
4. Di setiap acara dihadiran semua golongan masyarakat, pemeluk semua agama, semua etnik, semua warga parpol dan berbagai segmentasi yang terdapat di setiap lokal kegiatan.
5. Dalam setiap kesempatan pementasan KiaiKanjeng di luar negeri, CNKK berupaya untuk menjalankan people to people diplomacy. Di dalamnya CNKK menampilkan kebudayaan Islam dan Indonesia di hadapan bangsa-bangsa lain. Sekaligus sebagai tanda cinta dan persahabatan universal, CNKK berupaya mengapresiasi kebudayaan setempat melalui aransemen-aransemennya.
Peran Kiai Kanjeng Sebagai Agen Komunikasi Lintas Budaya
Popularitas Kiai Kanjeng kini tidak hanya di dalam negeri tapi juga telah merambah sampai ke dunia internasional. Bagi pendiri Kiai Kanjeng sendiri, kegiatan Kiai Kanjeng selama ini di dalam maupun luar negeri merupakan bagian kerja-kerja pendidikan yang terkait dengan upaya menjunjung harkat kemanusiaan. Melihat misi yang diusung Kiai Kanjeng selama ini, dapat dikatakan bahwa kelompok ini merupakan aktor non-pemerintah yang memiliki peranan signifikan dalam komunikasi lintas budaya, terutama berkaitan dengan aktivitas tur-nya di berbagai negara yang sangat kental dengan unsur pertukaran nilai-nilai kebudayaan, dialog antarumat beragama, dan persamaan prinsip-prinsip universal yang diperjuangkan.
Dalam aktivitas komunikasinya, CNKK tidak hanya melakukan pendekatan komunikasi lintas budaya melalui media musik dan dialog, namun juga menjalankan fungsinya dalam bidang diplomasi, yakni diplomasi kebudayaan dan kemanusiaan. Selain itu, tidak jarang CNKK melakukan mediasi dalam berbagai persoalan sosial kemasyarakatan di negara yang dikunjunginya. Kerjasama lintas budaya yang terjalin antara Kiai Kanjeng dengan budaya setempat berfungsi sebagai saluran alternatif dalam menjembatani kesepahaman antarlintas budaya. Dalam menyampaikan pesan-pesan komunikasi lintas budaya, musik merupakan salah satu media yang dipilih oleh CNKK. Namun, musik tidak berdiri sendiri, dan merupakan bagian integral dari sistem (keseluruhan komponen) yang dibangun dalam oleh Kiai Kanjeng, misalnya saja sosok Cak Nun, aransemen musik, materi lagu, pesan moral, dsb.
Bentuk nyata aktivitas CNKK dalam komunikasi internasional sangat bervariasi, mulai dari: Konser musik–interaktif; Dialog interfaith; kunjungan ke berbagai komunitas, misalnya gereja, sinagog Yahudi, dsb; Pertemuan dengan berbagai tokoh agama, budayawan, dan negarawan; peliputan dan wawancara di berbagai media. Salah satu bentuk komunikasi lintas budaya yang telah dilakukan Kiai Kanjeng ialah ketika mereka memiliki kesempatan untuk berkunjung ke 9 kota di Belanda, yaitu Den Haag, Amsterdam, Amstelveen, Deventer, Nijmegen, Leeuwarden, Zwolle, Hilversum, Rotterdam dan Etten-Leur. Kesempatan yang besar ini dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh Kiai Kanjeng untuk menyampaikan misi kemanusiaan dan diplomasi kebudayaan.
Salah satu isu yang diangkat oleh kelompok ini dalam kunjungannya ke Belanda ialah perbedaan umat beragama di dunia yang semakin menajam. Konflik dan kesalahpahaman yang terjadi antara dunia Barat dan Timur dikarenakan kurangnya toleransi antar umat beragama sehingga sensitifitas terhadap perbedaan tidak terelakkan. Belanda, termasuk salah satu negara yang telah berhasil menumbuhkan rasa toleransi yang tinggi atas perbedaan tersebut dan hal inilah yang patut dicontoh oleh seluruh masyarakat dunia.
Pementasan Cak Nun Kiai Kanjeng ke Belanda tahun 2008
Pada pertengahan tahun 2008, dunia dihebohkan oleh peredaran film pendek Fitna merupakan film pendek garapan politikus anggota parlemen dari Freedom Party (Partai Kebebasan) Belanda, Geert Wilders. Wilders merilis film tersebut pada 27 Maret 2008 pada situs video LiveLeak. Pada film dokumenter yang berdurasi kurang lebih 18 menit, ditampilkan bagaimana Wilders berusaha mengeneralisasi Islam dari sudut pandang kelompok Islam garis keras. Secara keseluruhan, film ini dapat dikatakan sebagai salah satu upaya propaganda Yahudi yang bertujuan menjatuhkan Islam secara keseluruhan dan memecah belah antara kaum Muslim dengan agama yang lainnya maupun dengan kelompok minoritas lainnya, seperti kelompok gay, Yahudi, dan lainnya. Usaha Wilders sebagai seorang anti Islam yang juga tergabung kedalam Freedom Party dalam memproduksi film Fitna ini sarat kaitannya dengan strategi politiknya dalam memenangkan kursi di Parlemen Belanda pada Pemilu tahun 2009.
Pada saat yang hampir bersamaan, CNKK menyelenggarakan pementasan di Belanda yang bertajuk Voices and Visions: An Indonesian Muslim Poet Sings a Multifaceted Society. Kiai Kanjeng telah menunjukkan wajah Islam yang lain, yang ramah dan toleran, jauh berbeda dari citra yang populer beredar di masyarakat dan media barat. Dalam rangkaian pentasnya, Kiai Kanjeng berhasil menampilkan keanggunan dan toleransi sebagai warga negara Indonesia dan menunjukkan citra positif sebagai warga Muslim.
Rangkaian tour Kiai Kanjeng ini telah memberi contoh konstruktif praktik kerjasama lintas-budaya dan lintas-agama di era yang populer disebut sebagai ‘pertarungan peradaban’ (clash of civilization) - sebuah tesis yang dikumandangkan oleh pemikir terkemuka Amerika Serikat Samuel Huntington (1993). Seperti diketahui, rangkaian tour Kiai Kanjeng di Belanda diprakarsai dan disponsori oleh sekelompok pemuka agama yang tergabung dalam Gereja Protestan Belanda dengan sokongan dari Hendrik Kraemer Institut. Ide mengundang Kiai Kanjeng muncul setelah atmosfir sosial politik di Belanda menghangat setelah politikus Sayap Kanan Geert Wilders melansir film propaganda anti-Islam bertajuk Fitna.
Praktik kerjasama ini sekaligus melawan dua stereotype: pertama, bahwa mayoritas warga Belanda berpandangan sama-dan-sebangun dengan Wilders dalam melihat Islam; kedua, bahwa Islam berwajah tunggal “gemar teror dan kekerasan” — seperti dicitrakan oleh, antara lain, film Fitna. Dengan mengundang grup musik santri untuk berpentas berkeliling ke negeri Belanda, itu jelas menunjukkan sikap ramah dan bersahabat dari sejumlah pemuka Kristen Protestan Belanda. Kehadiran dan pementasan Kiai Kanjeng di Belanda, sebagian dilangsungungkan di gereja, juga memberitakan “wajah cinta damai dan toleransi” yang dimiliki oleh mayoritas kaum Muslimin di Indonesia. Di negeri Belanda itu, Kiai Kanjeng datang tidak terutama untuk berkesenian, melainkan datang membawa hatinya untuk menyapa masyarakat di sana, membawakan lagu-lagu untuk mempererat persaudaraan di antara orang yang berbeda latar belakangnya, terutama latar belakang agama dan budayanya, terlebih lagi tatkala ketegangan antar manusia kerap mengemuka.
Dalam pertunjukkannya di Belanda, CNKK mendapat respon yang positif dari para penontonnya. CNKK berhasil membangun komunikasi yang indah antara budaya barat dan budaya timur, dalam hal ini memanfaatkan unsur budaya untuk mengusahakan hubungan yang lebih akrab lagi di antara Indonesia dengan Belanda. Musik yang dibawakan oleh CNKK tidak hanya memiliki unsur kebudayaan yang kental namun sekaligus berisikan unsur religiusitas yang erat dengan kemanusiaan. Salah seorang responden merasa terkejut ketika melihat CNKK menyanyikan lagu Belanda. Mereka merasa menemukan harmoni antara Barat dan Timur dan hal ini berhasil mematahkan kesalahan konsep pada perhubungan keduanya selama ini. Salah seorang penonton yang merupakan pimpinan lembaga EXPECT di StendenUniversity, mengatakan bahwa penggunaan instrumen musik Jawa untuk menyanyikan lagu Arab dan Barat menyadarkannya bahwa ada banyak hal yang bisa digunakan untuk menyatukan perbedaan diantara manusia, salah satunya ialah melalui musik.
Secara umum, feedback audience di Belanda (yang terdiri dari berbagai kalangan dari akademisi, rohaniawan, seniman hingga diplomat) sangat apresiatif, bahkan beberapa diantara mereka ada yang mengikuti pertunjukkan Kiai Kanjeng di kota-kota Belanja hari-hari berikutnya. Ada beberapa tokoh penting setempat seperti Aart Verburg, Syafiih Kamil, Inggrit Petiet, Jance Smit dan Liliana yang khusus memberikan testimoni. Ada seorang Belanda Liliana yang mengatakan serasa menemukan kembali Identitasnya setelah menonton Kiai Kanjeng. Kakeknya adalah seorang Yahudi dan Belanda, tapi entah kenapa ia merasa seperti memiliki darah Jawa setelah dengar lagu-lagu tadi, dan bahkan jika mati ingin dibungkus dengan kain Batik.
Menurut wawancara kami bersama narasumber, Mas Jijit yang juga merupakan seorang personel dari Kiai Kanjeng ini, pernah di salah satu tempat pertunjukkan, tepatnya sebelum masuk ke gereja di daerah Zoele, para jama’ahnya pada kabur karena Kiai Kanjeng adalah muslim, tapi setelah CNKK bermain di gereja itu, sedikit demi sedikit jamaah yang tadinya kabur tapi karena mungkin tertarik musik CNKK, lalu masuk ke gereja lagi dan kemudian turut menyaksikan pertunjukkan kami. Menurut Mas Jijit, pada saat tur ke Belanda, yang mengundang CNKK adalah PKN, semacam perkumpulan gereja-gereja di Belanda. Di akhir show, sekitar ada 80an pendeta dan pemuka agama lain berkumpul dan membuat deklarasi tertulis yang intinya menyatakan bahwa penjaminan keamanan dan kebebasan beragama termasuk Islam di Belanda dan agar setiap pemeluk agama menghormati satu sama lain. Deklarasi ini bahkan sampai masuk surat kabar di Belanda (tidak di ketahui pakah harian lokal atau nasional).
Mas Jijit juga bercerita bahwa ketika CNKK melakukan pementasan di SOAS sebuah perguruan tinggi di London, ternyata Cat Steven / Yusuf Islam juga ikut menonton. CNKK bertemu di belakang panggung. Cat Steven menanyakan bahwa CNKK ini muslim tetapi kenapa bermain musik, yang menurutnya adalah Bid’ah. Menurut CNKK, bid’ah itu jika terkait dengan ibadah Maghdoh diluar itu ya silahkan. Karena apa iya di jaman Rasul itu ada mobil, handphone, atau musik seperti sekarang ini? lihat konteksnya. Yusuf Islam melihat bahwa personel CNKK yang muslim dari Indonesia ini memluk Islam yang agak berbeda dengan Islam yang selama ini ia yakini, yang lebih kaku. Ia serperti mendapatkan semacam pencerahan. Akhirnya, tidak lama setelahnya, CNKK bersama Yusuf Islam konser bareng di Jakarta sekitar 2003/2004 dan membuat album bareng, dananya dipergunakan untuk santunan kepada korban Tsunami di Aceh waktu itu”. Menurut Mas Jijit juga selama di Belanda, mereka homestay di beberapa rumah warga Belanda dan ada interaksi budaya di dalamnya.